Akhir-akhir ini dunia politik di Timur Tengah terlihat tengah memanas, namun apabila dilihat jauh ke belakang, sebenarnya perseteruan antara barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dengan beberapa negara di Timur Tengah, sudah jauh hari terjadi. Penyebab perseteruan di antaranya terjadi karena persoalan keamanan dan kepentingan AS di Timur Tengah. Salah satu poin penting yang menjadi titik berat perhatian AS adalah mengenai kepemilikan nuklir di Timur Tengah. Tulisan ini akan mengkaji beberapa persoalan sejarah dan perkembangannya terkait isu nuklir di Timur Tengah.
Awal Mula
Senjata nuklir pertama kali digunakan oleh AS untuk menyerang Jepang pada Perang Dunia II. Serangan tersebut berhasil meluluhlantakkan dua kota besar di Jepang, yakni Hiroshima dan Nagasaki. Hiroshima dibom nuklir pada 6 Agustus 1945, dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Kejadian tersebut merupakan pertama dan terakhir kalinya nuklir digunakan sebagai senjata dalam sebuah peperangan, paling tidak itulah yang diharapkan oleh dunia.[1]
Pada kenyataannya sampai saat ini tercatat terdapat kurang lebih 2000 kali percobaan senjata nuklir yang dilakukan oleh berbagai negara. Negara-negara di dunia dipercaya memiliki hasrat untuk memiliki senjata nuklir. Secara terbuka, terdapat delapan negara yang menyatakan memiliki senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, China, Perancis, Korea Utara, India, dan Pakistan. Kemudian, meskipun belum mengakui, Israel juga secara luas diyakini memiliki senjata nuklir. Jadi, apabila digabungkan dengan Israel, maka jumlah pemilik senjata nuklir di dunia ini terdapat sembilan negara.[2]
Terdapat juga negara-negara lain yang pernah mengakui memiliki senjata nuklir, negara-negara tersebut antara lain: Afrika Selatan, Belarus, Kazakhstan, dan Ukraina. Afrika Selatan mengakui pernah memiliki arsenal kecil senjata nuklir yang telah disempurnakan pada tahun 1977. Namun pada tahun 1990-an Afrika Selatan menyatakan telah membongkar senjata tersebut dan tidak menggunakannya lagi. Kemudian, bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, maka terdapat 15 negara yang memperoleh kemerdekaan, 3 dari 15 negara yang merdeka tersebut—yakni Belarus, Kazakhstan, dan Ukraina—memiliki senjata nuklir yang dulunya milik Uni Soviet. Di pertengahan tahun 1990-an ketiga negara tersebut mentransfer kepemilikkan senjata nuklir tersebut ke Rusia.[3]
Melihat kedahsyatan senjata nuklir yang digunakan pada Perang Dunia II, seperti yang telah disebutkan di atas, negara-negara lain di luar ke-sembilan negara yang telah disebutkan di atas, diyakini oleh negara-negara pemegang hak penggunaan nuklir sebagai senjata memiliki keinginan untuk memiliki senjata nuklir juga. Menyadari betapa berbahayanya senjata nuklir, maka beberapa negara berinisiatif untuk mencegah penyebaran nuklir sebagai senjata, terutama AS dan Uni Soviet. Di tahun 1968, lahirlah sebuah perjanjian internasional (international treaty) yang bernama Non-Proliferation of Nuclear Weapons Treaty (NPT). Perjanjian tersebut dibuat untuk mengantisipasi penyebaran teknologi nuklir yang tidak terkontrol yang berpotensi untuk menjadikan nuklir sebagai senjata.[4]
Pada intinya perjanjian tersebut memuat dua poin esensial, yaitu pengklasifikasian dua jenis negara: negara-negara yang menggunakan nuklir sebagai senjata (nuclear weapon states), dan negara-negara yang menggunakan nuklir bukan sebagai senjata (nonnuclear weapon states). Yang mendapatkan hak sebagai negara pengguna nuklir sebagai senjata adalah negara-negara yang sebelum tanggal 1 Januari 1967 telah melakukan tes penggunaan nuklir sebagai senjata. Negara-negara tersebut antara lain adalah AS, Uni Soviet (sekarang Rusia), Perancis, Inggris, dan China.[5]
Menurut NPT, negara-negara yang tergabung di dalamnya tidak diperkenankan untuk memproduksi nuklir sebagai senjata. Jadi, negara-negara yang tergabung dalam NPT, selain kelima negara yang telah disebutkan di atas (AS, Uni Soviet [sekarang Rusia], Perancis, Inggris, dan China) dilarang memproduksi nuklir untuk digunakan sebagai senjata. Negara-negara yang tergabung dalam NPT bila ingin menggunakan teknologi nuklir harus berada dalam pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA).[6]
IAEA dibentuk untuk mengurangi ancaman perang dengan cara memajukan kerjasama di bidang atom, khususnya diantara negara-negara pemilik atom dengan negara-negara berkembang. Kerjasama tersebut diantaranya berbentuk pengkajian mengenai kesehatan, standar keamanan, dan pemberian bahan baku kepada Negara yang memerlukan atom untuk tujuan damai. Pengamanan khusus dibuat untuk mencegah pemakaian atom untuk kepentingan militer. IAEA ini diharapkan dapat menjadi fondasi sistem Internasional untuk mengawasi dan memeriksa persenjataan nuklir. [7]
Masih di dalam NPT, kelima negara pemilik senjata nuklir juga dilarang untuk mentransfer kemampuan senjata nuklir ke negara mana pun dalam bentuk apa pun, bahkan untuk kepentingan sipil pun (penggalian misalnya), nuklir berdaya ledak tinggi dilarang ditransfer.[8] Tetapi, NPT masih mengizinkan kelima negara tersebut untuk tidak mendisfungsikan kemampuan senjata nuklirnya.[9]
Senjata nuklir merupakan sebuah isu yang menyangkut masalah keamanan. Setelah sekian lama dunia disibukkan dengan isu-isu ekonomi, di tahun 2001 isu keamanan mencuat kembali, dunia dikagetkan dengan serangan terhadap menara kembar WTC pada tanggal 19 September, atau lebih dikenal dengan istilah peristiwa 9/11.[10]
Pada saat itu, menara kembar WTC ditabrak oleh dua bawah pesawat udara komersial yang dibajak oleh teroris. Gedung tersebut kemudian terbakar oleh api dan selang tidak beberapa lama gedung tersebut hancur luluh lantak dan ambruk. Pada kejadian tersebut diperkirakan 3000 orang mati. Adalah Osama bin Laden, pemimpin organisasi yang bernama Al-Qaeda, yang dituduh oleh pemerintah AS sebagai biang keladi atas kejadian tersebut.[11] Selain persoalan minyak untuk jangka panjang, kejadian 9/11 mau tidak mau membuat AS harus fokus terhadap kondisi keamanan di Timur Tengah. AS meyakini bahwa basis pergerakkan teroris ada di Timur Tengah.[12]
Doktrin Preemptive Strike
Setelah serangan 9/11 ke gedung WTC Amerika Serikat (AS), respon pemerintah AS yang waktu itu sedang dipimpin oleh George Walter Bush[13] adalah memprioritaskan administrasi pemerintahannya untuk mengakhiri terorisme, Global War on Terrorism. Tidak hanya itu, Bush juga mengatakan bahwa dia akan memerangi pemerintahan negara lain yang mendukung terorisme, seperti dikutip dalam pidatonya pada kongres:
“Setiap negara dalam setiap wilayah sekarang memiliki keputusan untuk dibuat…. Entah anda bersama kami atau anda dengan teroris. Mulai hari ini, setiap bangsa yang terus memberi fasilitas atau mendukung terorisme akan dianggap oleh Amerika Serikat sebagai musuh.”[14]
Ucapan Bush segera terbukti pada tanggal 7 Oktober 2001, AS bersama negara-negara sekutu melakukan penyerangan terhadap Afghanistan. Afghanistan yang pada saat itu sedang dipimpin oleh Taliban dituduh mempunyai jaringan yang kuat dengan Al-Qaeda dan sedang menyembunyikan Osama bin Laden dari kejaran AS. Tujuan penyerangan AS ke Afghanistan adalah untuk menggulingkan rezim Taliban dan mengeliminir kegiatan Al-Qaeda di negara tersebut.
Di tahun 2002, The National Security Strategy of the United States of America (NSS) mempublikasikan doktrin Preemptive Strike, yakni sebuah doktrin yang mengatakan bahwa lebih baik “mencegah” daripada mengatasi suatu kejadian buruk yang telah terjadi. Seperti yang tertuang dalam NSS:
“Amerika Serikat telah lama mempertahankan pilihan tindakan pencegahan untuk melawan ancaman yang cukup untuk keamanan nasional kita. Semakin besar ancaman, semakin besar risiko keterlambatan—dan dengan kasus, semakin mendorong kita untuk mengambil tindakan antisipatif untuk mempertahankan diri….” [15]
Noam Chomsky mengatakan bahwa preemptive strike adalah “penggunaan kekuatan militer untuk mengurangi ancaman yang ditemukan atau diperkirakan” [16] dan Wagner mengatakan bahwa Preemptive Strike adalah sebuah latar belakang untuk melakukan serangkaian konfrontasi terhadap negara/kelompok lain (the rest of the world) di luar AS.[17]
Namun, sesungguhnya istilah preemptive strike telah muncul sejak era perang dingin pada tahun 1970-an , namun dengan makna yang sedikit berbeda. Preemptive strike pada waktu itu identik dengan perang senjata nuklir, berkaca terhadap pemboman Hiroshima dan Nagasaki oleh AS, maka preemptive strike dapat dikatakan serangan bom nuklir terhadap suatu negara sampai negara tersebut hancur total dan mengalami kekalahan yang menyebabkan negara tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan serangan balik.[18]
Pada tahun 2003, doktrin preemptive strike segera terwujud dalam bentuk invasi AS ke Irak. Pada tanggal 20 Maret 2003 Bush mengumumkan perang terhadap Irak. Bush berargumen bahwa Irak bisa membahayakan stabilitas keamanan regional dikarenakan memproduksi senjata pemusnah massal (Weapons Of Mass Destruction) dan mempunyai keterkaitan dengan Organisasi Terorisme Internasional.[19]
Prajurit Amerika Serikat ketika hendak meruntuhkan patung Saddam Hussein di Irak. (Foto: Jerome Delay/Associated Press)
Setelah bertahun-tahun lamanya tentara AS menduduki Afghanistan dan Irak, muncul sebuah pertanyaan: Negara manakah yang selanjutnya akan menjadi sasaran doktrin Preemptive Strike? Sebelumnya, dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh Bush, AS sudah mengidentifikasikan negara-negara yang dianggap membahayakan bagi stabilitas keamanan Internasional, yakni Irak, Iran, dan Korea Utara, atau The Axis of Evil. Ketiga negara tersebut dituduh sebagai negara yang mengembangkan senjata nuklir, biologi, dan kimia (senjata pemusnah massal) serta diduga kuat secara langsung mau pun tidak langsung mesponsori kegiatan terorisme.[20]
Irak, telah menjadi bukti konkrit dilaksanakannya doktrin Preemptive Strike, bagaimakah dengan Iran dan Korea Utara? Fokus tulisan ini adalah ke wilayah Timur Tengah, dengan demikian, berdasarkan definisi Bush tentang The Axis of Evil, negara yang tersisa adalah Iran dan Korea Utara. Korea Utara tidak akan kita bahas dari pembahasan karena di luar wilayah Timur Tengah.
Oleh karena itu penulis akan memfokuskan penelitian pada politik luar negeri AS terhadap Iran menyangkut tuduhan AS terhadap Iran mengenai kepemilikan senjata pemusnah massal. Oleh AS, Iran juga dikategorikan sebagai “Rogue State”, yaitu negara yang secara regular melukai standar Internasional karena perilakunya yang tidak dapat diterima oleh dunia Internasional, terkait isu senjata nuklir dan sponsor terorisme.[21]
Status Kepemilikkan Nuklir Iran
Iran sebenarnya merupakan salah satu negara penandatangan NPT (Non-Proliferation of Nuclear Weapons Treaty), namun Amerika Serikat (AS) tidak pernah percaya bahwa Iran memang ingin menggunakan teknologi nuklir untuk tujuan damai. AS tetap mencurigai bahwa Iran nantinya akan menggunakan nuklir sebagai senjata. Saat ini tercatat terdapat 189 negara yang tergabung dalam NPT. Yang perlu diketahui adalah bahwa sebenarnya India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel sama sekali tidak tergabung dalam NPT, dan berarti mereka tidak terikat dengan perjanjian yang tertuang dalam NPT tersebut.[22]
Tapi, inti persoalan sebenarnya bukan di situ, di artikel sebelumnya kita telah membahas bahwa NPT didirikan untuk mencegah tersebarnya senjata nuklir. Tentu saja, seharusnya AS sebagai negara super power mempunyai kekuatan untuk bertindak sesuatu terhadap negara-negara pemilik senjata nuklir yang tidak tergabung dalam NPT, pemberian sanksi misalnya. Untuk kasus Korea Utara, AS memang telah memberikan sanksi,[23] namun bagaimana dengan India, Pakistan, dan Israel?
Menurut laporan yang dibuat oleh CRS, sebuah organisasi yang berkegiatan membuat resume kronologis dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kongres AS, saat ini AS tidak memberikan sanksi apapun terkait kepemilikkan nuklir India dan Pakistan. Di tahun 1998, ketika India dan Pakistan pertama kali melakukan tes senjata nuklir, AS sempat memberikan sanksi, namun pada tahun 1999 sanksi tersebut perlahan dikurangi, dan pada tahun 2001, di bawah kepemimpinan Bush, AS menghapuskan sama sekali sanksi tersebut.[24] Apalagi terhadap Israel, sebagai sekutu utama AS di Timur Tengah, AS sejauh pengamatan penulis tidak pernah memberi sanksi apapun terkait isu nuklir Israel.
Iran adalah penandatangan NPT, bergabung pada tahun 1958, dan meratifikasinya pada 1970.[25] Ada tiga ketentuan penting dalam perjanjian itu yang dapat disebut tiga pilar.[26] Yang pertama adalah tentang “non proliferasi”, kedua tentang “pelucutan senjata,” dan yang ketiga adalah tentang “penggunaan energi nuklir untuk kedamaian”. Menurut pilar pertama dari ketetapan perjanjian, negara-negara non senjata Nuklir/Non Nuclear Weapon States (NNWS), sebagai bagian dalam NPT (Pasal II) setuju untuk tidak memproduksi atau memiliki senjata nuklir, atau untuk mencari, atau menerima bantuan dalam pembuatan senjata nuklir. NNWS juga setuju (Pasal III) untuk menerima aktivitas “jaring pengaman” oleh Badan Energi Atom Internasional/International Atomic Energy Agency (IAEA) yang berfungsi untuk memverifikasi bahwa mereka tidak mengalihkan energi nuklir damai untuk membuat senjata nuklir atau kepentingan berbasis militer lainnya.[27]
Pilar ketiga perjanjian itu sangat penting, dan melalui poin tersebut, Iran
bersikeras bahwa ia memiliki hak untuk memanfaatkan energi nuklir untuk tujuan damai. Pilar ketiga tersebut memungkinkan setiap negara penandatangan NPT untuk mengembangkan program energi nuklir untuk kepentingan sipil selama mereka dapat menunjukkan bahwa program nuklirnya tidak digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir. Negara-negara pemilik senjata nuklir jumlahnya sangat sedikit, selain menggunakannya sebagai senjata mereka juga menggunakan nuklir untuk kepentingan energi, dan tidak ada satu pun dari negara pemilik senjata nuklir tersebut mempunyai keinginan untuk melepas kepemilikkan senjata nuklirnya.[28]
Atas dasar pertimbangan itulah, NPT melalui pasal IV juga mengizinkan NNWS untuk menggunakan nuklir untuk kepentingan energi, tetapi dalam kondisi dan syarat-syarat yang menyulitkan apabila mereka hendak mengalihkan program nuklir damainya ke senjata nuklir. Perjanjian tersebut mengakui bahwa setiap negara yang berdaulat berhak untuk menggunakan nuklir untuk tujuan damai dengan pembatasan seperti yang tercantum dalam Pasal I dan II yang menjadi dasar kewajiban dari non-proliferasi di bawah perjanjian.[29]
Pilar ketiga inilah yang menjadi perdebatan serius, dimana Iran menegaskan bahwa ia memiliki hak untuk memanfaatkan energi nuklir untuk pembangkit listrik baik di masa kini maupun di masa mendatang. Berdasarkan NPT Iran juga dikategorikan dan telah menyatakan bahwa tidak akan memproduksi senjata nuklir di masa depan. Namun di sinilah yang menjadi sumber permasalahan antara Iran, AS, dan Barat. Tidak ada satu negara barat pun yang dapat menjamin kebenaran pernyataan Iran bahwa mereka tidak akan memproduksi senjata nuklir. Tingkat ketidakpercayaan AS dan Barat terhadap Iran terlalu tinggi sehingga menyebabkan gagalnya berbagai macam usaha diplomasi.[30]
Mengutip pernyataan Hans Blix, mantan Direktorat Jenderal IAEA periode 1981-1997 dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, Blix berbicara tentang situs militer Parchin, dia menuturkan, tim inspektur telah beberapa kali mengunjungi situs itu. Ditambahkannya, Parchin adalah sebuah situs militer dengan ribuan bangunan. Negara mana pun tidak akan membiarkan inspektur internasional mendekati situs-situs militer mereka. “Menurut saya, IAEA harus mengevaluasi informasi dengan sangat hati-hati dan kritis, karena jika tidak mereka dapat ditarik ke dalam penyimpangan…. Meski demikian, Iran lebih terbuka tentang kegiatan nuklirnya daripada kebanyakan negara lain”[31], seru Blix.
Hans Blix, mantan Direktorat Jenderal IAEA periode 1981-1997. (Foto: opendemocracy.net)
Blix juga menyinggung laporan yang dirilis IAEA pada 8 November 2011 lalu soal kegiatan nuklir Iran yang dilaporkan oleh Dirjen IAEA Yukiya Amano, mengkonfirmasikan bahwa IAEA menerima sebagian besar informasi yang belum diverifikasi dari Amerika Serikat dan Israel. Lebih lanjut, mengenai ancaman perang Israel terhadap Iran, Blix mengatakan, “ketika saya mendengar Netanyahu mengatakan, itu bukan hitungan hari atau minggu, tetapi juga tidak tahun, saya berpikir itu terdengar seperti ancaman mengerikan”.[32]
Dari sudut pandang Iran, mereka adalah negara anggota NPT—dan sesuai dengan ketetapan NPT—mempunyai hak untuk mengembangkan nuklir untuk kepentingan sipil, sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad pada waktu itu, Iran ingin mengembangkan nuklir untuk tujuan damai dan bersedia diawasi oleh IAEA.[33]
Iran dicurigai akan memproduksi senjata nuklir, walaupun belum terbukti, AS sudah memberikan sanksi terhadap Iran. Misal, di tahun 2009-2010, AS sudah memberikan enam jenis sanksi terhadap Iran terkait isu import minyak bumi olahan berbentuk bensin yang siap dipakai dalam kehidupan sehari-hari,[34] penanaman modal, perbankan, embargo teknologi, dan lain-lain yang apabila diekstrak lebih jauh dan dibuat detail, enam jenis sanksi tersebut terkait dengan puluhan, atau bahkan ratusan sanksi lainnya.
Penolakan Amerika Serikat terhadap Kepemilikkan Nuklir Iran
Titik persoalan yang mendasari permusuhan Amerika Serikat (AS)-Iran adalah kekhawatiran AS terhadap kepemilikkan Iran atas senjata nuklir. Kekhawatiran ini muncul dikarenakan AS memiliki pengalaman buruk dengan teroris. Teroris dalam sudut pandang AS identik dengan Muslim Radikal yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan tujuannnya. Dalam beberapa hal, dalam sudut pandang AS, Iran memiliki kecenderungan untuk berbuat radikal. Munculnya pandangan tersebut minimal dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan Presiden Iran pada waktu itu, Mahmoud Ahmadinejad, yang keras.
Selain persoalan di atas, secara historis, melalui revolusi Iran 1979, AS dan Iran memiliki sejarah masa lalu yang buruk. Di masa sebelum revolusi, Iran dikenal sebagai sekutu AS di Timur Tengah. Namun dikarenakan revolusi tersebut, Iran tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi memusuhi AS. Tidak hanya AS yang mengecap Iran dengan label buruk, “The Axis of Evil”, Iran pun mengecap AS dengan label “The Great Satan”. Sejarah yang buruk tersebut paling tidak dapat membuat AS sangat khawatir dengan keamanan negerinya. Jadi, baik AS mau pun Iran, satu sama lain saling memandang sebagai musuh.[35] Tentu saja, bagaimanapun kepemilikkan nuklir oleh negara musuh adalah sesuatu yang sangat ditakutkan oleh negara mana pun.
Iran secara terus terang mengumumkan bahwa negaranya sedang mengembangkan nuklir untuk kepentingan energi yang diklaim demi tujuan damai, bukan permusuhan. Tapi, AS tidak mempercayai begitu saja, AS malahan menuduh Iran sedang mengembangkan nuklir sebagai senjata pemusnah massal. Dalam setiap pernyataan yang disampaikan terkait isu nuklir Iran ini, kedua negara saling menyerang satu sama lain. Uniknya, ketika AS di bawah kepemimpinan George W. Bush, hubungan bilateral di antara kedua negara ini tidak pernah terjadi secara resmi. Hanya berlangsung melalui media-media saja.[36]
AS di bawah kepemimpinan Bush cenderung tidak peduli dengan setiap argumen yang disampaikan Iran bahwa nuklir yang sedang mereka bangun untuk perdamaian. Yang diinginkan AS adalah Iran sama sekali tidak memiliki kemampuan nuklir, dalam hal apa pun. Oleh karena ini melalui berbagai macam cara AS harus bisa menghentikan kegiatan pembangunan nuklir Iran, tidak menutup kemungkinan perang pun dapat dilakukan, seperti apa yang terjadi pada Irak sebelumnya. Simak pidato Bush pada anggota kongres AS di tahun 2002 mengenai penolakan terhadap pemerintah Iran dan aktivitas terorisnya:
“Iran secara agresif mengejar senjata dan mengekspor teror, sementara sebagian kecil yang tidak diinginkan menindas harapan rakyat Iran untuk kebebasan…. Negara-negara seperti ini, dan sekutu teroris mereka, merupakan suatu poros kejahatan (axis of evil), mempersenjatai untuk mengancam perdamaian dunia. Dengan mencari senjata pemusnah massal, rezim ini menimbulkan ancaman kematian dan bahaya besar yang terus berkembang. Mereka mampu menyediakan senjata untuk teroris, memberikan mereka sarana untuk melampiaskan kebencian mereka. Mereka bisa menyerang sekutu kita atau berusaha untuk memeras Amerika Serikat. Dalam setiap kasus ini, ketidakpedulian akan menjadi bencana …. Perang kita melawan teror telah dimulai, tetapi ini hanyalah permulaan. Kampanye ini tidak akan selesai hanya dengan pengawasan kami, namun harus dan akan diperangi melalui pengawasan kami.”[37]
Kemudian, AS pun berganti kepemimpinan, kali ini yang berhasil naik menjadi Presiden adalah seseorang dari kubu partai oposisi, yakni Demokrat. Adalah Barack Obama yang pada tahun 2008 berhasil naik menjadi President AS. President kulit hitam pertama di AS. Tidak seperti Presiden sebelumnya, Obama menawarkan cara berinteraksi yang baru dengan Iran, yakni dengan cara diplomasi yang lebih halus. Di dalam kampanyenya Obama menawarkan kemungkinan untuk berdiplomasi dengan Iran. Simak pernyataan Obama:
“Untuk memperbarui kepemimpinan Amerika di dunia, saya berniat untuk membangun kembali aliansi, kemitraan, dan institusi yang diperlukan untuk menghadapi ancaman umum dan meningkatkan keamanan bersama. Kebutuhan aliansi dan institusi ini akan reformasi tidak akan datang dengan mengintimidasi negara-negara lain untuk meratifikasi perubahan yang kami rencanakan melalui isolasi. Ini akan datang ketika kita meyakinkan pemerintah dan rakyat lainnya bahwa mereka juga memiliki kepentingan dalam kemitraan yang efektif.”[38]
Di bawah kepemimpinan Obama, pada 6 Desember 2010, AS, Prancis, Rusia, Inggris, China, dan Jerman mengadakan dialog dan perundingan di Jenewa bersama Iran. Pertemuan ini baru terlaksana setelah diusulkan satu tahun sebelumnya. Pertemuan ini apabila berjalan lancar akan menjadi suatu peristiwa yang langka apabila dibandingkan dengan kepemimpinan Bush sebelumnya yang sama sekali menutup kemungkinan untuk berdialog secara langsung dengan Iran.[39]
Namun, siapapun presidennya, kepemilikkan nuklir Iran merupakan sesuatu yang tidak bisa luput dari perhatian AS. AS meyakini Iran telah dan sedang mengembangkan senjata nuklir. Walaupun Iran sebagai negara anggota NPT, menurut AS reaktor nuklir yang sedang dibangun Iran dengan bantuan Rusia tersebut sangat potensial untuk bisa dikembangkan ke arah pembangunan reaktor untuk senjata nuklir. Prediksi AS pada waktu itu adalah pada tahun 2015 Iran diyakini akan mampu membuat senjata nuklir.[40]
Selain itu, walaupun Iran tidak dikait-kaitkan dengan kejadian 9/11, tetapi Iran diidentifikasi sebagai negara yang mendukung terorisme. Departemen luar negeri AS mencatat bahwa Iran dicurigai terkait dengan kejadian pengeboman Menara Khobar di pangkalan militer AS, Saudi Arabia pada Juni 1996.[41] Teheran juga diyakini campur tangan terhadap isu konflik Palestina-Israel dengan mensponsori organisasi teroris seperti Hamas, Hisbullah, dan Islamic Jihad dengan cara membantu secara ekonomi, militer, dan politik.[42]
Iran dianggap membahayakan kepentingan nasional AS, seperti apa yang telah diungkapkan Menteri Luar Negeri Amerika di masa administrasi Bush, Condoleeza Rice: “Perilaku Iran menempatkan tepat di “poros setan” (axis of evil)—apakah itu senjata pemusnah massal atau terorisme atau hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ini situasi yang rumit, tapi saya pikir perilaku menunjukkan jati dirinya”.[43]
Selain tuduhan teroris, permusuhan AS terhadap Iran juga dipengaruhi kegiatan Kristen-Zionis di sistem politik AS. Sejak lama Israel melihat bahwa Iran merupakan sebuah ancaman regional. Di mata AS, Israel merupakan sebuah negara yang selalu harus dibela kepentingannya. Israel memiliki sejarah permusuhan yang panjang dengan Iran. AS sebagai pembela Israel tentu saja melihat Iran sebagai musuh juga.[44]
Israel merupakan negara yang memiliki banyak musuh di Timur Tengah. Kemunculan Iran dengan teknologi nuklir merupakan sebuah kemajuan besar, Iran akan dipandang sebagai negara besar. Kebangkitan Iran akan membuat repot AS dikarenakan apabila Iran bangkit akan memacu negara-negara di sekitarnya untuk membangkitkan diri juga.[45]
Tumbangnya Strategi Menara Kembar
Oposisi Timur Tengah terhadap negara-negara Barat sebenarnya jauh lebih besar dan kompleks ketimbang fenomena yang terjadi pada periode tahun 2000-an: Iran, Irak, Osama bin Laden, Taliban, atau pun Palestina. Oposisi ini telah tumbuh secara konsisten sejak awal abad ke-19 sebagai kekuatan oposisi yang efektif, baik terhadap Barat maupun penguasa sekuler setempat. Pada abad ke-20 kekuatan Barat telah dibutakan terhadap kekuatan oposisi di seluruh Timur Tengah karena Barat disibukkan oleh persaingan kekuatan besar di masa Perang Dunia dan Perang Dingin.[46]
Warga Amerika Serikat (AS) percaya bahwa peristiwa seperti krisis penyanderaan kedubes AS di Iran pada 1979-81 atau serangan mengerikan di New York dan Washington pada 11 September terjadi semata-mata sebagai akibat dari permusuhan yang belum lama terjadi. Padahal setiap akar konfrontasi modern yang terjadi antara AS dan Timur Tengah telah terjadi lebih dari 150 tahun yang lalu. Semua muncul dari satu sumber: warisan hubungan yang buruk antara kekuatan kolonial Eropa, dengan siapa Amerika Serikat terkait, dan bagaimana mereka berinteraksi di Timur Tengah.[47]
Pemimpin perlawanan Timur Tengah terhadap Barat adalah Jamal ad-Din al-Afghani (1838-1897), yang dijuluki “Bapak Modernisme Islam”. Al-Afghani dididik di Najaf, Iran, dan di kota-kota lain tempat keramat Syiah yang keberadaannya di Irak dan India sampai saat ini masih berdiri. Pada 1865-1866, setelah beberapa tahun tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti, dia kembali ke Teheran, kemudian pergi ke Masyhad dan akhirnya menetap di Herat di Afghanistan, tempat memulai karirnya sebagai seorang tokoh politik keagamaan. Dia kemudian melakukan perjalanan ke seluruh dunia Islam, sambil menyebarkan sebuah gerakan “Reformasi Islam”.[48]
Al-Afghani menggunakan ideologi Islam untuk mengatasi perbedaan etnis di wilayah tersebut, dan selain itu menyebarkan pesan-pesan yang mudah dimengerti sehingga semua orang dapat paham. Dia berusaha untuk memobilisasi negara-negara Muslim untuk melawan imperialisme Barat dan untuk melancarkan aksinya dia juga mengakuisisi teknologi militer modern. Al-Afghani mengklaim bahwa Inggris, Perancis, dan Rusia yang beroperasi di wilayah Timur Tengah merampok kekayaan rakyat melalui pengeksploitasian sumber daya alam dan sumber daya-sumber daya komersial lainnya.[49]
Kegiatan Al-Afghani dan para pengikutnya membuahkan hasil, yakni berkembang pesatnya kelompok Ikhwanul Muslimin di seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Ikhwanul Muslimin menganut tiga prinsip dalam kegiatan politik dan agama mereka: kesalehan pribadi yang dipadukan dengan penyebaran agama, modernisasi agama, dan perlawanan terhadap rezim sekuler. Menurut mereka, negara-negara Barat telah melakukan kejahatan terhadap dunia muslim.[50]
Setelah Perang Dunia I, masyarakat Timur Tengah diperlakukan buruk oleh negara-negara Eropa yang mempunyai basis militer kuat, mereka dijadikan sebagai hadiah perang dan dibagi-bagi seperti layaknya barang rampasan. Inggris dan Perancis tanpa persetujuan maupun konsultasi dengan masyarakat sekitar—membagi-bagi negara-negara di Laut Mediterania dan Teluk Persia untuk keuntungan mereka sendiri. Perilaku ini kemudian meningkatkan kebencian dari para pengikut fundamentalis terhadap kehadiran Barat dan melakukan perlawanan.[51]
Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin memperebutkan negara-negara di Timur Tengah. Pemerintah negara-negara di Timur Tengah seperti Mesir, Sudan, Irak, dan Suriah secara konstan ditekan untuk memilih antara Timur dan Barat. Seringkali mereka diiming-imingi oleh “hadiah” berupa kekuatan militer untuk mendapatkan posisi menjadi rezim di negara bersangkutan.[52]
Dengan dukungan berupa uang maupun senjata baik dari Moskow mau pun Washington, para penguasa di Timur Tengah dapat dengan mudah menekan kaum fundamentalis yang menentang mereka. Perilaku pemerintah ini telah membuat para tokoh agama menjadi marah. Pada level ini, karena frustasi dengan tekanan yang menimpa mereka, cara-cara politik formal konvensional mulai ditinggalkan oleh kaum fundamentalis. Mereka memutuskan mengambil cara-cara perang fisik untuk melakukan perlawanan.[53]
Setelah 1972, Amerika Serikat menjadi satu-satunya wakil negara-negara Barat yang eksis di Timur Tengah, yaitu ketika Inggris sudah merasa tidak mampu lagi mempertahankan kekuatan militer penuh. Untuk melindungi kepentingan AS dari Uni Soviet— berupa membagi kebutuhan minyak, Washington menopang pemerintahan dua negara besar di Timur Tengah, yaitu Iran dan Arab Saudi. Strategi ini disebut “Strategi Menara Kembar” (Twin Pillar Policy), yang berakhir ketika terjadi revolusi di Iran pada tahun 1979 yang mengakibatkan kekacauan besar terhadap struktur militer AS di Timur Tengah.
Raja Saud bersama Kaisar Mohammad Reza Pahlavi dan istrinya, Permaisuri Soraya Bkhittar, kunjungan ke Iran tahun 1955. (Foto: kingsaud.org)
Hubungan AS-Iran sebenarnya memiliki sejarah yang panjang. Sejak kepemimpinan Syah Pahlevi di era 1970-an, AS telah memiliki hubungan dengan Iran. Pada saat itu Iran masih menjadi sekutu kuat AS di Timur Tengah bersama dengan Arab Saudi. Namun, semenjak tahun 1979, ketika terjadi revolusi Iran, hubungan itu berbalik menjadi permusuhan. Perlu diketahui, pengembangan nuklir Iran sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman Syah Pahlevi, namun pada waktu itu AS tidak terlalu mengkhawatirkan nuklir Iran karena Iran masih menjadi sekutu AS.[54]
Setelah rezim sokongan AS di Iran tumbang oleh oposisi yang dipimpin oleh Imam Khomeini, Iran berbalik menjadi musuh AS. Ketika Iran berperang dengan Irak, AS mendukung Saddam Hussein untuk mencegah Iran keluar sebagai pemenang. Juga, karena cemas terhadap kemungkinan Uni Soviet melakukan ekspansi ke Afghanistan, AS kemudian menyokong Taliban sebagai kekuatan pembendung. Dua kekuatan besar ini—Saddam Husein dan Taliban—tiada lain merupakan monster yang diciptakan AS.[55]
Program nuklir Iran telah membuat khawatir masyarakat internasional sejak dekade 1990-an, utamanya dari pihak Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, tetapi isu ini baru menjadi fokus perhatian keamanan internasional sejak tahun 2000. Meskipun Teheran masih mempertahankan argumentasinya bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai, namun di masa lalu Iran pernah mengakui memiliki uranium yang diperkaya sebagai bagian dari program pengayaan uranium, hal ini lah yang membuat masyarakat internasional pada umumnya dan AS pada khususnya ketakutan. AS menganggap bahwa nuklir Iran memiliki tujuan ganda, untuk kepentingan sipil maupun militer. AS menduga bahwa motivasi utama Iran memproduksi nuklir adalah untuk tujuan keamanan, sebagaimana negara-negara lain di kawasan tersebut yang juga memproduksi nuklir.[56]
AS melihat Iran sebagai Rogue State, sulit untuk dikendalikan, oleh karena itu persoalan nuklir Iran kemudian dibawa meningkat menuju dinamika yang lebih kompleks di mana Iran dihadapkan pada situasi penerapan sanksi internasional yang dimotori oleh kekuatan politik AS. Berdasarkan laporan IAEA, AS membawa isu nuklir Iran ke DK PBB yang akhirnya membuat Iran dikenakan sanksi karena dicurigai secara diam-diam memproduksi senjata nuklir. Namun, pada kenyataannya sanksi tersebut tidak pernah efektif dapat menghentikan program nuklir Iran.
Alasan Iran Menginginkan Nuklir: Ancaman dari Irak, Israel, dan AS
Sejak diberlakukannya sanksi AS terhadap Iran, tidak ada yang mengetahui dengan pasti mengapa Iran—walaupun Irak dengan Saddam-nya yang menjadi ancaman terhadap Iran telah jatuh—tetap mempertahankan program nuklirnya. Kondisi tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan penting: yaitu apa yang mendorong Iran untuk memperkaya uranium? Program nuklir tersebut juga membuat negara di kawasan menjadi kurang bersahabat terhadap Iran. Saira Khan mengatakan, tujuan Iran adalah untuk menunjukkan bahwa ambisi nuklir mereka berhubungan dengan lingkungan regional maupun global karena segala konflik yang terjadi di kawasan tersebut berkaitan erat dengan konstelasi politik global, yang artinya selama ancaman global masih tetap ada, maka Iran tidak akan pernah berhenti untuk melanjutkan ambisi nuklirnya.[57]
Bagaimanapun juga permusuhan Iran dengan AS merupakan penyebab utama untuk program proliferasi nuklir Iran sejak tahun 1990-an. Upaya tersebut terus berlanjut hingga tahun 2000-an. Konflik berkepanjangan Iran dengan AS dimulai pada akhir periode Shah dan awal Revolusi Islam pada tahun 1979. Tahun 1980 Iran mulai berperang dengan Irak, sehingga Iran fokus terhadap perang tersebut hingga berakhir tahun 1988. Meskipun demikian, sejak tahun 1979 Iran sudah terlanjur menganggap AS sebagai musuh karena mendukung Israel, musuh Iran di Timur Tengah. Selain memiliki dua konflik berkepanjangan sejak akhir 1940-an dan awal 1950-an dengan Israel dan Irak, Iran mengembangkan konflik tidak terelakkan yang baru dengan AS pada tahun 1979 ketika terjadi revolusi di Iran. Dengan demikian Iran memiliki tiga musuh – Irak, Israel, dan AS. Irak telah menjadi musuh utama Iran di wilayah Timur Tengah, mereka terlibat konflik yang berlarut-larut.[58]
Sejak tahun 1980-1988, Iran dan Irak terlibat perang paling berdarah di Timur Tengah. William O. Beeman mengatakan, kedua negara besar tersebut bertarung untuk memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Israel, di sisi lain adalah musuh Iran dari sejak berdirinya pada tahun 1948. Permusuhan antara Iran dan Israel semakin kental ketika terjadi perang antara Lebanon dan Israel pada tahun 1980. Teheran membentuk organisasi perjuangan di Lebanon yang bernama Hizbullah. Perang Hizbullah dan Israel kemudian menjadi proxy war antara Iran dan Israel. Dalam konteks persenjataan nuklir, program pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Irak dan Israel menjadi ancaman serius bagi Iran. Oleh karena itu Iran perlu memikirkan strategi penangkalan terhadap kedua negara tersebut, hal inilah yang mendorong Iran untuk juga mengembangkan nuklir.[59]
Prajurit Iran di garis terdepan perang Iran-Irak. (Foto: Commandernavy/Wikimedia)
Konflik ketiga berhubungan dengan keberadaan AS di Timur Tengah yang merupakan ancaman serius bagi Iran. AS sebagai negara super power memiliki kekuatan tidak sebanding dengan Iran. Bila dibandingkan dengan AS, Iran adalah negara lemah, sehingga konflik diantara mereka bersifat asimetris. Untuk membela diri terhadap kekuatan global, Iran memerlukan sesuatu untuk mempertahankan diri. Perkembangan nuklir Iran selama tahun 1990-2000 kurang mendapat perhatian dari AS mengingat masa-masa itu adalah akhir Perang Dingin sehingga AS memilliki banyak pekerjaan rumah lain. Walaupun demikian, sejak Perang Dingin berakhir, Iran sudah dikategorikan sebagai rogue state.[60]
Keadaan bertambah buruk ketika pada tahun 2002 Bush mengidentifikasikan Iran sebagai “negara poros setan”. Bagi Iran label tersebut merupakan sebuah penghinaan yang amat besar. Tidak cukup sampai di situ, ancaman semakin terasa kuat ketika Irak, yang juga dikategorikan sebagai “negara poros setan” diserang oleh AS dengan tuduhan memproduksi senjata nuklir.[61]
Walaupun Iran dianggap masih memiliki banyak persoalan di dalam negeri seperti demokratisasi, modernisasi, kulturalisasi, dan hak asasi manusia, akan tetapi dalam program pengembangan nuklir seluruh rakyat bersatu untuk memperjuangkannya. Keputusan AS menyerang Irak pada tahun 2003 tanpa persetujuan PBB menunjukkan kekuatan Washington di dunia yang bersifat unipolar. Fakta tersebut sekaligus menunjukkan bahwa invasi bisa kapan saja terjadi terhadap Iran apabila tidak memiliki senjata penangkal yang ampuh. Menghadapi fakta peta kekuatan yang bersifat asimetris semakin mendorong Iran untuk mengakuisisi senjata nuklir dan berani mengumumkan keputusannya untuk memperkaya uranium, sekaligus mempertegas status nuklir Iran di mata AS. Sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang, Iran masih menjadi bulan-bulanan sanksi yang diberikan oleh AS dan PBB.[62]
Paling tidak, penjelasan di atas lah yang diyakini oleh pihak Barat kenapa Iran menginginkan nuklir. Dari sudut pandang Iran sendiri, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada tahun 2003 pernah mengeluarkan fatwa haram tentang senjata nuklir. Fatwa tersebut bahkan dikutip dalam pertemuan Iran dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 2005 di Wina, “Pemimpin Republik Islam Iran, Ayatollah Ali Khamenei telah mengeluarkan Fatwa bahwa produksi, penimbunan, dan penggunaan senjata nuklir dilarang oleh Islam, dan bahwa Republik Islam Iran tidak akan pernah menjadi pemilik senjata ini.”[63]
Namun, di pihak Barat, meskipun sudah ada fatwa tersebut mereka tetap meragukan Iran untuk tidak membuat senjata nuklir. Analisa dari pihak Barat, mungkin saja benar bahwa saat ini Iran belum memiliki senjata nuklir, namun mereka sudah memiliki teknologinya. Dengan pengetahuan dan ketersediaan fasilitas serta bahan baku yang tersedia, Iran dapat memproduksi senjata nuklir dengan cepat apabila diperlukan.[64]
Pasang Surut Program Nuklir Iran
Ketertarikan Amerika Serikat (AS) terhadap pengembangan nuklir Iran dapat ditelusuri sejak tahun 1950-an ketika AS menggalakan program nuklir untuk perdamaian. Saat itu AS menandatangani perjanjian kerjasama nuklir dengan Iran. Sebelum jatuhnya Shah pada tahun 1979, sepanjang periode Shah berkuasa AS menyediakan berbagai jenis pelatihan dan bantuan teknis pengembangan nuklir ke Iran. Presiden Gerald Ford, misalnya, pada tahun 1976 tertarik untuk menyediakan peralatan pengayaan nuklir terhadap Iran. Iran juga mengejar berbagai jenis kerjasama nuklir dengan negara lain, termasuk Afrika Selatan dan Cina.[65]
Kebanyakan dari kerjasama tersebut tidak secara langsung menunjukkan kegiatan proliferasi nuklir, namun transfer teknologi nuklir yang didapatkan oleh Iran pada waktu itu bersifat dualisme, satu sisi benar-benar untuk kepentingan sipil, sisi lain berpotensi untuk dijadikan senjata. Shah memahami dengan jelas realitas ini dan mungkin secara diam-diam telah memiliki rencana tersendiri, berdasarkan sikapnya yang benar-benar kooperatif dengan AS mau pun negara-negara lainnya Shah mungkin memikirkan opsi untuk mengembangkan senjata nuklir.[66]
Setelah Shah digulingkan pada tahun 1979, kecurigaan AS tentang motivasi kepemilikkan senjata nuklir Iran meningkat. Hal tersebut dapat dipahami karena Ayatullah Khomeini yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1979. Tidak lama kemudian Iran menciptakan krisis penyanderaan selama 444 hari dari tanggal 4 November 1979 sampai dengan 20 Januari 1981 terhadap orang-orang di Kedubes AS di Iran yang pada akhirnya berakibat putusnya hubungan diplomatik antara kedua negara.[67]
Setelah revolusi, akhirnya Iran berpaling ke Pakistan untuk meminta bantuan untuk memajukan program nuklirnya yang tertinggal. Bagi pemerintah AS, opsi sementara yang bisa dilakukan melalui jalur diplomasi adalah mengakhiri atau memperlambat program senjata nuklir Iran. Meskipun demikian, di masa jabatan kedua Clinton, pada bulan Maret dan Mei 1995, dia menandatangani Executive Orders yang melarang perusahaan dari AS melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan Iran.[68]
Seperti Pakistan dan Korea Utara, Iran telah menempuh jalan panjang untuk dapat mengembangkan teknologi nuklir dan persenjataan nuklir. Bantuan teknis Pakistan pada pertengahan 1980-an terbukti menjadi kontributor utama terhadap kepentingan Iran dalam mengembangkan teknologi nuklir. Setelah meninggalnya pemimpin spiritual tertinggi Iran, Ayatollah Khomeini, di tahun 1989, penggantinya, Ayatollah Khamenei, bersama Presiden Iran saat itu, Rafsanjani, memperlihatkan ketertarikan terhadap nuklir yang bukannya menurun, namun malah semakin meningkat. Dengan dukungan politik dari pemimpin tertinggi, kegiatan pengadaan alat-alat pendukung program nuklir Iran meningkat secara dramatis, secara gencar mereka mencari perlengkapan-perlengkapan tersebut ke wilayah Eropa.[69]
Di beberapa tempat usaha tersebut berhasil, sementara di tempat lain menemui kegagalan. Iran menyadari bahwa usaha pengadaan tersebut tidak akan berhasil apabila hanya dilakukan oleh pihak mereka sendiri, kemudian Iran menghubungi Abdul Qadeer Kahn[70], seorang ilmuwan senjata nuklir asal Pakistan, untuk meminta bantuan. Khan yang telah berpengalaman tentunya mempunyai jaringan yang jauh lebih kuat dibanding Iran. Pada tahun 1994, kesepakatan bilateral antara Iran dan Pakistan tercapai, Pakistan akan memasok desain sentrifugal P-1 versi lama; dan desain-desain, komponen-komponen, dan gambar rancangan desain sentrifugal yang lebih mutakhir, P-2.[71]
Abdul Qadeer Kahn, ilmuwan senjata nuklir asal Pakistan. (Foto: AP)
Pada tahun 1995 program Iran mulai bergerak ke arah yang baru. Kegiatan pengayaan nuklir Iran yang tadinya dilakukan secara terang-terangan di bawah Tehran Nuclear Technology Center dialihkan ke sebuah perusahaan listrik, Kalaye Electric Company. Dengan demikian kegiatan nuklir Iran menjadi tersembunyi dan sulit untuk dilihat segala macam perkembangannya.[72]
Pada tahun yang sama Rusia menandatangani kontrak sebesar 800 juta USD untuk membangun dua reaktor air ringan Iran di Bushehr. AS meyakini bahwa di permukaan, reaktor di Busher hanya memperlihatkan pengolahan air dalam batas aman, sementara pengolahan lainnya, pengolahan untuk memproduksi plutonium yang dapat digunakan untuk membuat bom telah dipindahkan ke tempat lain. Apa yang dikhawatirkan oleh AS adalah kehadiran para teknisi ahli nuklir Rusia di Teheran. Dari waktu ke waktu, ratusan teknisi Rusia bekerja dalam berbagai aspek dalam proyek Busher. Kehadiran mereka dikhawatirkan akan dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan senjata nuklir. [73]
Pada akhir tahun 1995, Iran menghubungi Rusia kembali untuk meminta bantuan khusus. Iran tampaknya kecewa dengan kualitas bahan-bahan yang dikirimkan oleh AQ Khan di masa lalu. Pemerintah Iran membuat penawaran resmi terhadap pemerintah Rusia untuk membeli seluruh program pembangunan pabrik sentrifugal. Jika hal tersebut terjadi, maka Teheran setidaknya akan mendapatkan 10.000 peralatan khusus yang lebih dari cukup untuk mempercepat program pengayaan nuklir. Pemerintahan Clinton bergerak cepat dan melakukan diplomasi dengan pihak Rusia untuk menghentikan permintaan Iran terhadap Rusia tersebut. Beruntung, melalui pendekatan yang tepat AS berhasil meyakinkan Rusia untuk membatalkan proses jual beli tersebut.[74]
Pada tahun 1997, Iran masih belum cukup dekat untuk mengembangkan senjata nuklir, namun, selain nuklir ternyata Iran juga mengembangkan program pembuatan rudalnya. Dalam perspekif militer, keberadaan nuklir tanpa rudal pengantar sama saja kesia-siaan. Atas dasar hal tersebut, Presiden Amerika Serikat (AS) waktu itu, Bill Clinton, secara pribadi menyetujui dimulainya inisiatif diplomatik terpadu. Inisiatif tersebut merupakan suatu hal yang tidak biasa dilakukan dikarenakan pemerintah Clinton bertindak bukan berdasarkan informasi yang diterima oleh intelijen.[75]
Padahal, pada periode 1996-1997 informasi intelijen AS mengatakan bahwa Rusia tengah membantu Iran untuk mengembangkan nuklir. Laporan intelijen juga mengatakan bahwa Rusia telah mengirimkan ahli-ahli misilnya untuk membantu Iran mengembangkan misil. Laporan tersebut hadir di saat yang tidak tepat ketika pemerintahan Clinton sedang berkomitmen untuk membantu membangun Rusia di bawah Boris Yeltsin pasca keruntuhan Uni Soviet.[76]
Dengan demikian Clinton telah memilih jalan yang tidak sesuai dengan informasi intelijen, dia malah lebih memilih jalur diplomasi halus karena terikat komitmen politik dengan Rusia. Di kemudian hari, hal serupa juga terjadi di masa pemerintahan GW Bush, dengan didukung ataupun tidak didukung oleh informasi intelijen, Bush di tahun 2003 tetap akan mengambil jalan menyerang Irak. [77]
Rudal Iran (Bagian 1)
Pada tanggal 23 Juli 1998 Iran melakukan uji coba Shahab 3, sebuah rudal balistik dengan jarak menengah, yang mampu menembak sasaran dengan jarak tempuh sekitar 1.300 kilometer. Rudal tersebut hanya terbang selama sekitar 100 detik hingga akhirnya berhenti beroperasi, mungkin dikarenakan persoalan teknis. Walaupun percobaan pertama tersebut gagal, namun percobaan tersebut sudah cukup untuk membuat Washington dan Tel Aviv khawatir. Kemampuan rudal Iran yang berkembang diduga berkat bantuan Korea Utara sebagai pemasok yang kemudian untuk persoalan akurasi dibantu oleh teknisi-teknisi dari Rusia. Dengan jarak tempuh 1.300 kilometer, Shahab 3 sudah mampu menjangkau seluruh Timur Tengah, termasuk Israel. Benyamin Netanyahu mengatakan bahwa ancaman Iran tampak lebih nyata dibanding sebelumnya.[78]
Penilaian terhadap kecepatan dan arah pembangunan program nuklir Iran telah menjadi kesibukan tersendiri bagi para pemangku jabatan dan analis di AS selama lebih dari satu dekade. Bukti bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir belum pernah terlihat, namun gerakan Iran dalam mengembangkan rudal dan melakukan uji coba Shahab 3 membuat AS curiga, sebagaimana yang diungkapkan oleh Collin Powell, Menlu AS di masa pemerintahan Bush:
“Saya telah melihat beberapa informasi yang akan menunjukkan bahwa mereka telah aktif bekerja pada sistem pengiriman…. Anda tidak akan memiliki senjata sampai anda memasukkannya ke dalam sesuatu yang dapat membawa senjata tersebut.”[79]
Bagi AS, uji coba Shahab 3 merupakan indikasi kuat bahwa Iran memiliki ambisi yang kuat untuk mengembangkan senjata nuklir. Berdasarkan sejarah, setiap negara yang mengembangkan rudal jarak jauh adalah negara yang sedang berkepentingan untuk mengembangkan senjata nuklir. Tidak ada pengecualian dalam hal ini. Alasan untuk mengembangkan rudal jarak jauh adalah untuk mengantarkan hulu ledak nuklir ke lokasi yang dituju. Setiap hulu ledak lain jenis konvensional memiliki daya destruktif yang jauh lebih kecil, yang lebih akurat, dan biasa digunakan untuk teror terhadap kota-kota yang berukuran tidak terlalu luas. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hitler terhadap London selama Perang Dunia II.[80]
Lain halnya dengan rudal balistik jarak jauh, akurasi terhadap target tidak perlu terlalu detail karena rudal balistik bertujuan untuk menghancurkan dalam skala besar. Selain itu, mengembangkan rudal balistik membutuhkan sumber daya yang lebih intensif, dana yang besar, dan komitmen jangka panjang dari para ahli rudal. Kemampuan rudal Iran jauh lebih berkembang daripada program nuklirnya itu sendiri, di mata AS hal tersebut menunjukkan bahwa Iran cukup serius untuk mengembangkan senjata nuklirnya dalam jangka panjang.[81]
Parade Rudal Shahab 3, Teheran tahun 2005. Di belakang (kedua dari kiri), tampak Presiden Iran pada waktu itu, Mahmoud Ahmadinejad, sedang berdiri di atas podium. (Foto: Vahid Salemi/Associated Press)
Program pengembangan rudal balistik Iran terus berlanjut. Pada Juli 2003, Iran melakukan uji terbang akhir Shahab 3 yang telah disempurnakan. Pada kesempatan lainnya, dalam acara parade atau perayaan-perayaan, kemampuan Shahab 3 kerap didemonstrasikan. Apa yang dipertontonkan Iran menunjukan bahwa kekuatan militer Iran telah tumbuh menjadi kekuatan besar. Para ahli teknis di Barat masih memperdebatkan mengenai akurasi dari Shahab 3, namun berdasarkan demonstrasi yang ditunjukan ketika Shahab 3 melewati jalan-jalan di Teheran, itu sudah cukup untuk membuat situasi politik di Israel gempar. Dalam politik internasional persepsi dapat sekuat realitas. Dalam hal ini baik persepsi maupun realitas tampaknya menunjukkan bahwa Iran sudah menjadi ancaman bagi musuh-musuhnya di regional.[82]
Catatan Kaki:
[1] Leonard S. Spector “Nuclear Weapons Proliferation”, dalam Redmond, WA (ed.) Microsoft Encarta 2009 [DVD]. Microsoft Corporation, 2008.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Terjemahan Wawan Juanda) (Bandung: Putra Abardin, 1999), hlm 269.
[7] Ibid.
[8] Teknologi nuklir juga bisa digunakan untuk kepentingan damai, misalnya untuk penggalian sebuah kawasan pertambangan.
[9] Leonard S Spector, Loc. Cit.
[10] Bob Sugeng Hadiwinata, Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari realisme hingga Konstruktivisme, dalam Yulius P Hermawan (Ed.), Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm 3.
[11] Tom Gjelten, “September 11 Attacks“, dalam Redmond, WA (ed.) Microsoft Encarta 2009 [DVD]. Microsoft Corporation, 2008.
[12] Nathan Gonzalez, Engaging Iran–The Rise Of A Middle East Powerhouse And America’s Strategic Choice (Westport, Connecticut: Praeger Security International, 2007), Hlm 4.
[13] George Walter Bush adalah putra tertua dari George Herbert Walker Bush, presiden AS terdahulu periode 1989-1993.
[14] Tom Gjelten, Loc. Cit.
[15] “The National Security Strategy Of The United States Of America”, September 2002, article V, dalam http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/nsc/nss/2002/, diakses 4 Januari 2018.
[16] Noam Chomsky, “Dominance and Its Dilemmas. The Bush administration’s Imperial Grand Strategy,” Boston Review, October/November 2003. Dalam http://bostonreview.net/BR28.5/chomsky.html, diakses 4 Januari 2018.
[17] Ali Fathollah-Nejad, “Iran In The Eye Of Storm Why A Global War Has Begun”, Research Paper , Studies Of Political Science, Sociology, Economics, And Law At The University Of Münster (Germany), Autumn 2007, tidak diterbitkan, hlm 18..
[18] Richard Dudman, “Nixon, Chou Promise To Seek Closer Ties” St. Louis Post-Dispatch, February 21, 1972, dalam Redmond, WA (ed.) Microsoft Encarta 2009 [DVD]. Microsoft Corporation, 2008.
[19] Leonard S Spector, Loc. Cit.
[20] Robert J. Pauly, Jr., “Identifying and Confronting the ‘Axis of Evil’: A Critical Retrospective”, dalam Tom Lansford, Robert P. Watson, dan Jack Covarrubias (Eds.), America’s War on Terror, Second Edition (Surrey England: Ashgate, 2009), hlm 73.
[21] Martin Griffiths dan Terry O’Calagghan, International Relations: The Key Concepts, (London and New York: Routledge, 2002), hlm 280-281.
[22] Jenifer Mackby, “The Nuclear Non-Proliferation Treaty”, dari laman https://www.csis.org/analysis/nuclear-non-proliferation-treaty, diakses 6 Januari 2018.
[23] “US announces new sanctions against North Korea”, dalam http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-10710296, BBC (on-line), diakses 6 Januari 2018.
[24] CRS Report for Congress, “India and Pakistan: Current U.S. Economic Sanctions”, dalam https://www.hsdl.org/?abstract&did=44, diakses 6 Januari 2018.
[25] Member States of the IAEA, dalam http://www.iaea.org/About/Policy/MemberStates/index.html, diakses 6 Januari 2018.
[26] The Treaty on the Non Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), Review Conference of the Parties to the Treaty, United Nations Department of Disarmament Affairs, May 2–27, 2005, New York. Dalam http://www.un.org/en/conf/npt/2005/npttreaty.html, diakses 6 Januari 2018.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Endah Hapsari, “Beri Informasi tak Imbang Soal Nuklir Iran, AS-Israel Dituding Racuni IAEA”, Republika (on-line), dalam http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/03/26/m1gq6i-beri-informasi-tak-imbang-soal-nuklir-iran-asisrael-dituding-racuni-iaea, diakses 6 Januari 2018.
[32] “Hans Blix: The Iranian threat”, lihat video wawancara Hans Blix dengan Al Jazeera dalam http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2012/03/2012323161458267958.html, diakses 6 Januari 2018.
[33] “Ahmadinejad, Obama trade heated remarks”, dalam http://www.msnbc.msn.com/id/39345066/ns/world_news-mideastn_africa/, diakses 6 Januari 2018.
[34] Walaupun Iran adalah negara pengekspor minyak, namun pada kenyataannya untuk minyak bumi hasil olahan yang digunakan untuk bahan bakar siap pakai, Iran masih mengimpornya dari negara lain karena keterbatasan teknologi.
[35] Paul Rogers, A War Too Far—Iraq, Iran And The New American Century (London: Pluto Press, 2006), Hlm 220.
[36] William O. Beeman, The ‘Great Satan’ vs. The ‘Mad Mullahs’ : How The United States And Iran Demonize Each Other (London: Praeger, 2005), hlm 5.
[37] Bush State of the Union address, dalam http://edition.cnn.com/2002/ALLPOLITICS/01/29/ bush.speech.txt/, diakses 9 Januari 2018.
[38] Stanley A. Renshon, National Security In The Obama Administration : Reassessing The Bush Doctrine (New York: Routledge, 2010), hlm 5.
[39] Julian Borger, “Iran nuclear talks under way in Geneva”, dari laman https://www.theguardian.com/world/2010/dec/06/iran-nuclear-talks-geneva, diakses 9 Januari 2018.
[40] Dennis C. Blair, Annual Threat Assessment of the Intelligence Community for the Senate Select Committee on Intelligence, (Director of National Intelligence, 12 February 2009), hlm 20.
[41] Robert J. Pauly, Jr., Op. Cit, hlm 79-80
[42] “The Spectre of being Next in Line,” The Economist, dalam http://www.economist.com/node/1079798, diakses 9 Januari 2018.
[43] Robert J. Pauly, Jr., Loc. Cit.
[44] Paul Rogers, Op. Cit., hlm 219.
[45] Ibid. Hlm 4.
[46] William O. Beeman, “The ‘Great Satan’ vs. The ‘Mad Mullahs’ : How The United States And Iran Demonize Each Other” (London : Praeger, 2005), hlm 1-2.
[47] Ibid, hlm 2
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Ibid., hlm 2-3.
[53] Ibid.
[54] Ibid., hlm 3.
[55] Ibid.
[56] Saira Khan, Iran and Nuclear Weapons: Protracted conflict and proliferation, (New York: Routledge, 2010), hlm 1.
[57] Saira Khan , Op. Cit., hlm 1
[58] William O. Beeman, Op. Cit., hlm 1-2
[59] Ibid.
[60] Saira Khan, Op. Cit., hlm 92.
[61] William O. Beeman, Op. Cit., hlm 2
[62] Ibid.
[63] “Iran, holder of peaceful nuclear fuel cycle technology”, dari laman http://www.mathaba.net/news/?x=302258, diakses 10 Januari 2018.
[64] Michael Crowley, “Ayatollah’s decree complicates Iran nuclear talks”, dari laman https://www.politico.com/story/2015/06/iran-nuclear-deal-ayatollah-fatwa-complication-119244, diakses 11 Januari 2018.
[65] Jack Caravelli, Nuclear Insecurity: Understanding the Threat from Rogue Nations and Terrorists, (London: Praeger Security International, 2008), hlm 94-95
[66] Ibid.
[67] Ibid., hlm 95
[68] Ibid.
[69] Ibid., hlm 96.
[70] “Abdul Qadeer Khan”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Abdul-Qadeer-Khan, diakses 13 Januari 2018.
[71] Jack Caravelli, Loc. Cit.
[72] Thérèse Delpech, “What Transatlantic Strategy On Iran?”, dalam Henry Sokolski dan Patrick Clawson (Eds), ‘‘Getting Ready for a Nuclear Iran,’’ (E-Book by www.strategicstudiesinstitute.mil.army, 2005), hlm 288.
[73] Jack Caravelli Op. Cit., hlm 96-97.
[74] Ibid., hlm 97.
[75] Jack Caravelli, Ibid.
[76] Ibid.
[77] Ibid.
[78] Ibid., hlm 104-105.
[79] Robin Wright and Keith B. Richburg, “Powell Says Iran Is Pursuing Bomb”, Washington Post on-line, 18 November 2004, hlm A01, dalam http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A57465-2004Nov17.html, diakses 15 Januari 2018.
[80] Jack Caravelli, Op. Cit., hlm 105
[81] Ibid.
[82] Ibid.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar