Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sebuah bangsa tidak menemukan persatuan yang dicita-citakan kecuali mereka menemukan kekuatan dan mempererat solidaritas mereka. Tidak ada sebuah bangsa yang menemukan kekuatan dan kemuliaan kecuali Tuhan mencabut ketidakteraturan dari mereka dan menghilangkan bencana kehinaan dari mereka serta membimbing mereka ke arah agama."
Persatuan merupakan salah satu masalah penting dan mendasar bagi umat Islam. Persatuan dan solidaritas Islam adalah nikmat dan karunia yang tiada tara yang terbentuk berdasarkan iman umat Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nabi Muhammad Saw dan al-Quran.
Persatuan dan solidaritas umat Islam telah ditegaskan dalam al-Quran, riwayat dan berbagai hadis para Imam Ahlul Bait as, di mana dengan jelas memerintahkan umat Islam untuk bersatu dan melarang mereka terpecah belah dan bertikai. Berdasarkan ayat-ayat al-Quran, jalan untuk terhindar dari perpecahan adalah mengikuti agama dan jalan yang lurus yang telah ditunjukkan oleh Allah Swt yaitu penghambaan dan taat kepada-Nya.
Allah Swt dalam surat al-Anam ayat 153 berfirman, "Dan bahwa hal ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (cara-cara yang bertentangan dengannya) karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa."
Tanggal 13 Rajab adalah hari kelahiran Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as. Beliau menaruh perhatian besar terhadap persatuan umat Islam dan menganggapnya sebagai anugerah dan karunia tak tertandingi dari Allah Swt. Imam Ali as memperkenalkan kebaikan masyarakat dalam naungan persatuan. Beliau berkata, "Rahmat Allah atas Jamaah. Umat Islam harus menjaga solidaritas dan kerjasama mereka."
Imam Ali as menggambarkan bahaya perpecahan di tengah umat seperti terpisahnya seekor domba dari kawanannya, di mana domba tersebut terlepas dari pengawasan dan penjagaan penggembala dan dengan mudah akan menjadi mangsa serigala. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh terpisah dari barisan erat umat Islam supaya aman dari ancaman musuh asing dan menikmati persahabatan dan kasih sayang sesamanya.
Sirah Imam Ali as adalah pelajaran terbaik dalam persatuan umat Islam. Berdasarkan berbagai argumen kuat, jelas dan tak terbantahkan dari ayat-ayat al-Quran dan riwayat, khilafah Nabi Muhammad Saw dan keimamahan umat Islam setelah wafat beliau adalah kedudukan yang telah ditentukan oleh Alllah Swt bagi Imam Ali as. Rasulullah Saw di masa hidupnya berulang kali menegaskan akan keimamahan Imam Ali as setelah beliau. Nabi Muhammad Saw di hari Ghadir Khum atas wahyu Allah Swt dengan jelas memperkenalkan Imam Ali as sebagai penggantinya dan bersabda, "Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan
musuhilah orang yang memusuhinya."
Namun sayangnya, pasca wafatnya Rasullah Saw, perintah Allah Swt terkait pengangkatan Imam Ali as sebagai pengganti beliau diabaikan. Di awal protesnya, Imam Ali as menuntut haknya yaitu menuntut pelaksanaan hukum Ilahi. Namun dengan melihat pemaksaan oleh para pengklaim khilafah dan munculnya perpecahan di antara umat Islam yang baru lahir, Imam Ali as kemudian diam demi menjaga persatuan umat Islam dan maslahat umum. Sebab dalam kondisi saat itu prinsip dan dasar Islam dalam bahaya.
Pasca wafatnya Rasulullah Saw, terdapat kelompok di luar kota Madinah yang menentang sepenuhnya kekhalifahan Abu Bakar. Sementara kelompok lainnya keluar dari agama Islam dan murtad setelah mendengar bahwa Nabi Muhammad Saw telah wafat. Masalah lainnya adalah klaim kenabian oleh orang-orang seperti Musailamah dan Sajah yang didukung oleh sekelompok orang, dan masalah-masalah lainnya sehingga kota Madinah rentan akan bahaya serangan musuh.
Terkait hal tersebut, Imam Ali as dalam suratnya ke-62 yang termuat dalam Nahjul Balaghah, kepada masyarakat Mesir mengatakan, "Demi Allah aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa Arab mengambil khilafah dari keluarga Nabi Muhammad Saw atau menghalangiku darinya. Jangan memaksaku untuk bersikap heran kecuali perhatian masyarakat kepada orang lain di mana mereka memegang tangannya untuk baiat. Oleh karena itu, aku menahan untuk berbaiat. Aku melihat sekelompok masyarakat meninggalkan Islam dan ingin melenyapkan agama Muhammad Saw. Aku takut jika aku tidak segera menolong Islam dan Muslimin maka aku akan menyaksikan pecah belah dan hancurnya tubuh Islam di mana musibah dan penderitaannya bagiku lebih besar dari pemerintahan beberapa hari yang dengan cepat akan hilang seperti awan. Sehingga aku bangkit untuk melawan peristiwa ini dan menolong umat Islam supaya yang batil lenyap dan ketenangan kembali kepada Islam."
Rasulullah Saw berulang kali menyinggung tentang tingkatan takwa, ilmu, keistimewaan dan berbagai kelayakan lainnya yang dimiliki Imam Ali as. Perspektif luas dan keikhlasan Imam Ali as sangat tinggi, bahkan beliau dapat mengontrol dirinya dan loyal kepada Islam. Beliau telah mengambil sebuah jalan yang pada akhirnya beliau sendiri terasing dari hak-haknya. Hal itu dipilih beliau demi kelanggengan agama Allah Swt dan ajaran Rasulullah Saw. Hal inilah yang menunjukkan pribadi luar biasa Imam Ali as.
Di masa Imam Ali as, banyak orang yang mendorong beliau untuk menindaklanjuti hak khilafahnya atas umat Islam, meskipun sebagian dari mereka tidak memiliki niat yang baik. Salah satu putra Abu Lahab membuat sebuah syair terkait keistimewaan dan hak khilafah Imam Ali as yang sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk memprovokasi masyarakat. Namun Imam Ali as melarangnya dan mengatakan, "Bagiku keselamatan Islam dan tetapnya pondasi Islam lebih baik dan bernilai dari segalanya."
Ketika Khalifah Kedua, Umar bin Khattab merasa umurnya tak panjang lagi, ia memutuskan untuk memilih penggantinya. Terkait hal itu, ia mengatakan, "Pengangkatan Abu Bakar tidak berdasarkan musyawarah mukminin, namun setelahnya, khalifah harus dipilih berdasarkan musyawarah mukminin." Umar bin Khattab kemudian memilih enam orang dan memerintahkan mereka untuk bermusyawarah, dan dalam waktu tiga hari mereka harus menentukan salah satu dari mereka untuk menjadi khalifah selanjutnya.
Enam orang tersebut adalah Imam Ali as, Usman bin Affan, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Namun hasil dari musyawarah tersebut telah jelas sebelumnya, di mana hanya akan merugikan hak Imam Ali as. Oleh sebab itu, Abbas, paman Nabi Muhammad Saw, meminta Imam Ali as untuk tidak bergabung dalam musyawarah tersebut. Meski beliau menegaskan kebenaran pandangan Abbas, tetapi beliau tidak menerima usulah Abbas. Imam Ali as berkata, "Aku tidak senang dengan perpecahan."
Abbas kemudian berkata, "Dengan demikian apa yang engkau tidak sukai akan engkau hadapi." Seperti yang diperkirakan, mereka akhirnya memilih Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab. Pasca penunjukkan tersebut, Imam Ali as berkata, "Kalian mengetahui bahwa aku lebih layak untuk khilafah ini dari pada semuanya. Tetapi demi Allah aku bersumpah, selagi urusan umat Islam berjalan dan hanya aku yang menderita dan bersedih, maka aku tidak akan melakukan penentangan."
Penegasan Imam Ali as terhadap persatuan dan solidaritas umat Islam terus berlanjut hingga beliau wafat. Di masa kekhalifahannya, ketika Thalhah dan Zubair, dua tokoh besar permulaan Islam melanggar baiat mereka dan memulai untuk memeranginya, Imam Ali as tetap berusaha mencegah kemungkinan meletusnya perang. Terkait tindakan Thalhah dan Zubair, beliau berkata, "Demi menghindari perpecahan umat Islam aku rela mengabaikan hak legalku (tentang khilafah), dan meski mereka membaitku dengan sukarela, namun mereka sendiri melanggar baiatnya dan tidak merasa takut dan khawatir akan munculnya perpecahan di antara umat Islam."
Imam Ali as menambahkan, "Alangkah baiknya jika Thalhah dan Zubair setahun atau paling tidak beberapa bulan bersabar dan melihat pemerintahannku, baru kemudian mengambil keputusan. Namun mereka tidak mentolerir dan melakukan pemberontakan serta menentangku dalam hal yang Tuhan tidak memberikan hak kepada mereka."
Imam Ali as menilai rahasia kelangsungan sebuah bangsa adalah mencegah perpecahan dan menciptakan solidaritas. Beliau berkata, "Sebuah bangsa tidak menemukan persatuan yang dicita-citakan kecuali mereka menemukan kekuatan dan mempererat solidaritas mereka. Tidak ada sebuah bangsa yang menemukan kekuataan dan kemuliaan kecuali Tuhan mencabut ketidakteraturan dari mereka dan menghilangkan bencana kehinaan dari mereka serta membimbing mereka ke arah agama."
(IRIB-Indonesia/AB-Perlaqk1/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar