Ilustrasi
Oleh: ROHMATUL IZAD
Cadar, jika kita bandingkan dengan poligami, maka ia masuk pada ranah penetrasi, yakni suatu tradisi yang hidup jauh sebelum Islam, lalu agama ikut campur dalam melegal formalkan tradisi itu. Bedanya, kebolehan poligami jelas tertuang dalam nash, meski dalam praktiknya masih menimbulkan polemis, tetapi cadar, dalam arti perintah tidak benar-benar tertulis dalam nash suci.
Lebih tepatnya, cadar merupakan ekspresi kebebasan berbudaya, sebab seseorang bebas mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang lain, atau kelompok yang berbeda sama sekali, sejauh kebiasaan itu baik dan tidak menimbulkan dampak negatif yang berlebih-lebihan. Seperti memakai cadar, seorang muslimah bebas memakai cadar, sebab tradisi itu, betapapun tak selalu identik dengan baik dan buruk, dapat membuatnya merasa nyaman dan aman, paling tidak menurut persepsi dan pengalamannya.
Sebagai ekspresi budaya, jelas bahwa cadar tak mungkin dapat mengukur kualitas dan kapasitas kesalehan religiusitas seseorang. Budaya, dalam banyak ragamnya, selalu terikat dan mengikat dirinya sendiri dalam lokalitas tertentu dan ruang lingkupnya terbatas pada wilayah di mana sekelompok orang mempraktikannya. Meski budaya selalu berkembang dan ada banyak kemungkinan jenis budaya itu, sebagaimana cadar, mempengaruhi lingkungan luar secara geo-kultural.
Jadi tidak ada kaitan sama sekali antara cadar dan agama. Memang, di belahan dunia lain, termasuk Nusantara, budaya dapat melahirkan agama atau keyakinan tertentu yang dihayati layaknya agama besar pada umumnya. Tapi orang akan tetap sadar bahwa keyakinan itu, betapapun sebuah ekspresi batin dalam sejarah yang panjang, tetap merupakan produk budaya dan tak akan pernah dipahami sebagai sesuatu yang benar-banar dari langit.
Sebelum era Islam, tradisi cadar sudah menjadi hal lumrah yang dipakai dalam lingkup geo-kultural tertentu. Bahkan cadar bukan khas budaya Arab, melainkan budaya berkembang di Timur Tengah yang secara geografis wilayahnya membentang antara Asia Barat sampai Afrika Utara. Jadi cadar itu tidak selalu identik dengan budaya Arab, apalagi Islam. Sebagai ekspresi budaya, Arab hanya satu dari sekian banyak etnis yang mempraktikkan budaya cadar.
Di Timur Tengah, Arab juga bukan satu-satunya etnik yang populasinya besar, selain itu masih ada etnik Persi, Kurdi dan Azerbaijan. Arab juga bukan satu-satunya penduduk pribumi Timur Tengah, ada banyak etnis lainnya seperti Armenia, Aramik, Balochi, Berber, Koptik, Yahudi, Yazidi, Talishi, Assyria dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan bahwa betapa kawasan Timur Tengah memiliki ragam etnis dan tidak hanya agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) saja yang hidup di sana, tetapi keyakinan-keyakinan lokal lainnya juga tumbuh subur.
Bilamana Arab tidak selalu identik dengan Timur Tengah, maka menjadi jelas bahwa Arab juga tidak selalu identik dengan Muslim. Itu artinya keberadaan cadar sebagai satu dari sekian banyak tradisi yang hidup di Timur Tengah, juga tidak identik dengan ajaran-ajaran Islam. Hanya, sebagian komunitas Muslim, mengakomodir cadar sebagai identitas yang mereka lekatkan dengan ekspresi agama, betapapun ia tak memiliki nilai teologis secara langsung dan tak akan pernah menjadi ajaran Islam yang baku.
Jika Islam sebagai agama bukan merupakan produk budaya, maka jangan pernah katakan bahwa cadar itu produk Islam. Sebab hal itu akan menciderai nilai-nilai kebermaknaan dalam beragama karena sudah salah kaprah dalam menempatkan posisi budaya sebagai agama atau ekspresi budaya sebagai ekspresi agama. Siapapun bebas berbudaya, sesuai dengan norma-norma tertentu dan tidak melanggar kebebasan orang lain, tapi jangan pernah katakan hal itu sebagai bagian dari ajaran Islam jika agama-agama lain, suku-suku lain, atau penghayat kepercayaan lain, di banyak belahan dunia juga mempraktikkan cadar sebagai bagian penting dari identitas kebudayaan mereka.
Cadar sangat erat dengan kondisi geo-kultural Timur Tengah, melintasi berbagai suku-bangsa dan agama. Maka identitas cadar tak ada kaitannya dengan kualitas keimanan seseorang, juga tidak menunjukkan nilai kesalehan yang kompatibel. Ia lebih sebagai produk budaya dan barang tentu memiliki nilai penting sebagai kebiasaan yang hidup dalam komunitas tertentu, layaknya ekspresi budaya-budaya lain yang juga hidup dalam banyak masyarakat di belahan dunia lainnya.
Bahkan, menurut catatan sejarah, tradisi cadar sudah hidup jauh ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab. Mula-mula dari zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Kemudian, tradisi cadar mempengaruhi era Byzantium dan menjadi populer di masa Imperium Persia. Ketika tentara Muslim melakukan ekspansi kekuasaan dan berhasil menaklukkan Byzantium dan Persia, tradisi cadar ini lalu diadopsi oleh masyarakat Muslim Arab dan masyarakat Timur Tengah pada umumnya.
Oleh karena tradisi cadar sudah dipraktikkan jauh sebelum Islam, maka wajar jika perempuan-perempuan di Timur Tengah sebelum Islam sudah memakainya. Selain itu, pakain cadar ternyata juga sangat cocok dikenakan di iklim padang pasir. Lagi-lagi, cadar terikat dengan lokalitas fungsional dari pemakainya. Mereka mengadopsi cadar bukan semata-mata karena agama dan nilai agung lainnya, tetapi hanya sebatas pakaian fungsional yang tampak cocok di lingkungan mereka.
Di antara sekian banyak perempuan yang memakai cadar, yang tak terbatas oleh suku-bangsa dan agama, mereka menfungsikan cadar secara berbeda-beda dan memiliki tujuan yang beragam. Perubahan-perubahan makna pun terjadi dari zaman ke zaman dan dari masyarakat ke masyarakat lain yang memakainya.
Sebagian umat Islam yang sejauh ini banyak menfungsikan cadar sebagai bermotif agama, juga merupakan bagian penting dari ‘evolusi makna cadar’ yang umumnya tak lebih hanya sebatas produk budaya. Tetapi apakah bisa dibenarkan jika sesuatu yang datang dari budaya, lalu dimurnikan menjadi produk agama yang suci? Bukankan ajaran Islam berasal dari langit dan bukan produk buatan manusia sendiri?
Penulis meyakini bahwa siapapun bebas mengekspresikan praktik beragama dan kebudayaan tertentu, selama ia tak melanggar prinsip umum dan kebebasan orang lain. Tetapi kita perlu memastikan mana wilayah budaya dan mana wilayah agama, agar kita tidak terjebak pada jaring-jaring ideologis dan politis yang hanya mengedepankan keyakinan buta tanpa didasari pengetahuan yang jelas dan mumpuni.
Apalagi, dengan bermodal pengetahuan yang dangkal, sudah berani menghakimi orang lain yang tak sepaham. Silahkan bercadar, tapi jangan mengklaim seseorang yang berkerudung biasa atau bahkan perempuan yang tak berkerudung sebagai tidak Islami atau telanjang sama sekali. Mereka punya hak atas dirinya, Islam juga sangat fleksibel dalam mengakomodir umatnya, bukan malah mempersusah.
Tidak semua umat Islam sepakat dengan cadar dan tidak semua perempuan mau memakai cadar merupakan bukti bahwa cadar sama sekali bukan termasuk ajaran Islam. Cadar hanya ekspresi budaya dan jika seseorang memakainya atas motif agama beserta seluruh nilai yang ia yakini, maka itu haknya dan ia tak punya hak untuk mengklaim eksistensi cadar sebagai doktrin Islam. Karenanya cadar lebih tepat disebut sebagai ekspresi dan kebebasan berbudaya, bukan kebebasan beragama.
(Geo-Times/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar