Direktur Maarif Institute Abdullah Darraz mengatakan, kasus konflik berlatar belakang agama di Indonesia berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, termasuk konflik internal agama, misalnya Islam suni dan syiah atau dengan Ahmadiyah.
“Negara harus membuat peraturan agar tidak terjadi persekusi dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Hindari main hakim sendiri,” kata tokoh Intelektual Muda Muhammadiyah itu.
Menurut dia, Indonesia memerlukan dialog antarumat beragama dan relasi antaraktor agama yang lebih efektif memberi dampak pada kerukunan.
“Pancasila merupakan doktrin terbaik bagi bangsa Indonesia untuk menjaga kemajemukan dan kerukunan itu,” katanya.
Sedangkan Wakil Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Muhammadiyah Zamah Sari mengatakan, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan doktrin agama dan para penganutnya.
“Justru hubungan antaragama dalam tradisi lokal di Indonesia itu terjalin sangat indah. Malahan pernyataan penguasa itu yang jangan-jangan bisa memicu konflik di antara masyarakat yang damai ini,” kata Wakil Rektor Uhamka itu.
Sementera itu, Ketua Komisi Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Manager Nasution mengatakan, konflik antaragama lebih disebabkan pada berbagai faktor di luar agama, seperti ketimpangan ekonomi atau hak yang dipinggirkan.
“Jadi konflik bukan berasal dari doktrin agama. Justru agama itu mengajarkan kebaikan, menghargai orang lain dan toleransi,” katanya dalam diskusi “Kemajemukan untuk Kerukunan Bangsa: Refleksi dan Proyeksi” di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Rabu.
Dalam diskusi jelang Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa di Jakarta pada 8-10 Februari 2018 itu, ia mengatakan, pada dasarnya bangsa Indonesia hidup damai, rukun dan terbiasa dengan kemajemukan, meski terkadang ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan agama untuk memicu terjadinya gesekan demi kepentingan politik tertentu.
Karena itu, ujar dia, pihaknya menentang pihak asing yang memberi label bahwa bangsa Indonesia intoleran, karena kerukunan agama di Indonesia memang fakta.
“Indonesia memiliki 17 tanggal merah hari besar semua agama. Para menteri, panglima, pejabat tinggi negara, legislator, kepala daerah di Indonesia juga banyak berasal dari agama minoritas yang tidak terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa yang demokratis,” katanya.
Selain itu rumah ibadah dari berbagai agama bisa ditemui dengan mudah, bahkan data resmi pada 1997-2004, pertumbuhan gereja Katolik tumbuh sebesar 153 persen, gereja Protestan 131 persen, wihara 368 persen, pura 475 persen, sedangkan masjid hanya 64 persen, ujar dia.
Menurut Manager, kalaupun ada konflik antaragama sifatnya lokal, misalnya ada penolakan pembangunan gereja di suatu daerah di Indonesia Barat, di sisi lain ada pula penolakan pembangunan masjid di suatu daerah di Indonesia Timur.
Untuk mengantisipasi konflik, ujar dia, caranya adalah hadirnya negara di tengah masyarakat dalam bentuk peraturan yang mengikat semua pihak, sehingga setiap konflik bisa diselesaikan di meja hijau.
(Antara/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar