Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Gibah

Gibah

Written By Unknown on Kamis, 21 Desember 2017 | Desember 21, 2017


Oleh: Husein Alwi

Gibah di Masyarakat

Kerusakan moral yang paling umum, paling buruk dan paling berbahaya adalah gibah. Perbuatan gibah menjadi penyebab penghinaan terhadap kehormatan seseorang, menguak rahasia, menyebarkan kekejian, memberanikan pelaku dosa dan akhirnya mendestabilkan dasar keyakinan dalam kehidupan sosial. Akan banyak pelanggaran moral yang terjadi dalam kehidupan manusia jika hukum gibah tidak dilaksanakan dengan baik.

Tanpa diragukan banyak dari masyarakat mempunyai titik kelemahan dimana sering kali aibnya terungkap. Jika aib dan kelemahan mereka terungkap kepercayaan publik akan hilang dan beberapa keburukan lainnya dihadapan masyarakat akan tersebar. Oleh karena itu, Islam memiliki dalil untuk melarang perbuatan itu. Dalam beberapa referensi ulama pegiat akhlak menyebutkan bahwa gibah masuk dalam kategori hama bahasa yang paling buruk. Sementara gibah hal yang paling digemari oleh manusia.

Jika keburukan moral ini tidak dipantang maka hidup manusia dalam menuju jalan ilahi tidak akan pernah berhasil dan tidak akan terlihat jiwa semangat dan keceriaan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, demikian pentingnya untuk memperhatikan perbuatan gibah di tengah kehidupan masyarakat umum.


Pengertian Gibah

Pengertian gibah dijelaskan didalam kamus bahasa, ahli hukum dan ulama pegiat akhlak, serta berbagai macam tafsir Al-Qur’an. Pada hakikatnya pengertian tersebut akan kembali kepada satu maksud. Namun beberapa pandangan secara umum dan khusus diantaranya terdapat perbedaan-perbedaan yang perlu diperhatikan.

Penulis Shihah Al-Luqhah mendefinisikan gibah sebagai aktivitas pembicaraan di belakang seseorang mengenai kelemahan dan tindakannya jika terdengar olehnya akan membuat orang tersebut marah. Adapun penulis Al-Mishbah Al-Munir mengartikan gibah sebagai pengungkapan aib-aib tersembunyi seseorang yang dapat membuatnya marah jika dibicarakan kembali dibelakang orang tersebut.

Almarhum Syaikh Anshsri merupakan beberapa dari ulama besar mengutip secara konsensus dari kabar para maksumin. Beliau mengisyaratkan bahwa hakikat gibah adalah membicarakan sesuatu tentang diri seseorang jika terdengar olehnya akan membuatnya marah.[1] Ini dikutip dari kumpulan hadis Rasulullah Saw.

Kita akan membacakan hadist lain dari Imam Shadiq as. Gibah adalah membicarakan sesuatu tentang diri saudara muslimnya dimana Allah Swt telah menutup hal tersebut atasnya.[2]

Terdapat riwayat dari Nabi Muhammad Saw dimana nama seseorang disebutkan di hadapan Rasul oleh salah satu hadirin, dan berkata; “fulan adalah orang tua dan tidak punya kemampuan apapun” lalu Rasulallah bertanya, “apa engkau telah gibah orang tersebut?” Orang tersebut menjawab, “yaa Rasulallah, saya hanya menyebutkan sifatnya”, Rasul bersabda: “jika setiap kali sesuatu yang kau ucapkan tidak ada pada dirinya, kau telah menuduhnya, bukan gibah.”[3]


Penyalahgunaan Gibah

Terkadang di tempat umum bagi sebagian orang yang tidak mengerti tentang larangan gibah membandingkan dengan mengatakan; “apakah kita berbohong jika orang tersebut memiliki aib namun tidak boleh dibicarakan kepada orang lain?”, alasan ini tidak memiliki dasar yang kuat. Karena dengan menggunakan alasan tersebut mengungkap aib seseorang dapat dianggap sebagai kebenaran. Sedangkan jika kita membicarakan seseorang namun tidak terdapat aib pada dirinya disebut tindakan penuduhan atau fitnah, bukan gibah. Oleh karena itu, disebut gibah karena membicarakan aib seseorang dibelakang orang yang bersangkutan.

Penjelasan dalam hal ini juga penting diketahui bahwa gibah bukan hanya berlaku pada setiap umat Islam namun berlaku kepada setiap manusia yang telah menyesali dosa-dosanya atau sudah bertaubat atau pula orang yang sedang mencari keadilan.

Akan tetapi hukum gibah tidak berlaku bagi orang fasik dan pembuat dosa, membicarakan tentang perbuatan buruknya diperbolehkan seberapa pun perbuatan fasiknya disembunyikan, tidak ada larangan bagi orang lain dan siapapun untuk membicarakan perbuatan fasiknya. Imam Jakfar Shodiq as memperjelas mengenai orang tersebut, “jika hubungannya dengan masyarakat tidak melakukan kezaliman, dalam pidatonya menganjurkan kebaikan dan tidak berbohong, dan tidak mengingkari janjinya kepada masyarakat, maka haram baginya untuk digibah, kepribadiannya memiliki integritas, keadilannya jelas, serta wajib persaudaran atasnya.”[4]

Dapat disimpulkan bahwa jika seseorang fasik dan perbuatannya dapat mempengaruhi stabilitas hubungan dalam masyarakat, orang tersebut boleh digibah agar perbuatannya tidak ditiru oleh orang lain. Sebaliknya, jika seseorang tersebut memiliki aib namun bertakwa dan melakukan kebajikan, haram baginya untuk digibah. Almarhum Allamah Majlisi pada awal bukunya Al-Asyrah pendapatnya juga memiliki kecenderungan yang sama dengan Biharul Anwar, jilid 72, meskipun dalam penjelasan tersebut nyaris tidak ada pengurangan[5].

Tentu saja dengan penjelasan ini dapat dijadikan dasar bagi sebagian masyarakat untuk berbuat gibah, namun ada ketentuan yang perlu diperhatikan agar tidak mudah terjebak pada perbuatan dosa. Dan hal ini tidak berseberangan dengan ayat suci Al-Qur’an maupun hadis dimana juga terdapat pembahasan gibah.

Dapat ditambahkan lagi dari riwayat lain dikatakan bahwa ada beberapa kelompok yang boleh digibah, atau tidak termasuk gibah jika membicarakan mereka, seperti orang fasik dimana dikenal akan kefasikannya, dan seperti yang terdapat dalam hadis Rasulallah Saw; disebutkan bahwa terdapat empat kelompok ketika membicarakan mereka dibelakangnya tidak termasuk gibah, salah satunya seorang fasik yang menampakkah dosanya.[6]


Proporsi Gibah

Pada artikel terdapat penjelasan mengenai gibah di masyarakat, pengertian gibah dan penyalahgunaan gibah. Dan di artikel ini akan membahas gibah secara lebih khusus. Namun sebagai pengantar, Imam Jakfar Shadiq as mengenai pembahasan status sosial orang fasik lebih konkret menjelaskan demikian, “jika seorang fasik menampakkan kemurkaan, dia tak punya hak untuk dihormati dan jika digunjing bukan termasuk gibah.”[7]

Imam Ali Ridho as juga lebih menekankan di hadis yang sama dengan mengatakan demikian, “gibah tidak berlaku bagi seorang pengumbar tabir aib.”[8]

Beberapa hadis lain juga memiliki spesifikasi dengan tema yang mirip. Penjelasan dalam hadis-hadis tersebut menyebutkan gibah menurut konsep deskripsi, namun secara konsep aktual sebagai penolakan dan tidak terdapat negasi.

Hal ini digambarkan dengan baik jika seseorang melakukan dosa dengan tersembunyi, gibah tentangnya tidak diperbolehkan dan bahkan merupakan dosa besar jika digibah. Dan sebagai pembahasan yang lebih khusus, gibah seorang fasik hanya boleh digibah pada perbuatan yang ditampakkannya saja, bukan berarti semua perbuatannya boleh digibah. Hal ini perlu digarisbawahi mengenai pembahasan sebelumnya tentang gibah seorang tokoh yang mempunyai pengaruh terhadap hubungan sosial masyarakat .

Artinya, gibah memiliki proporsi tertentu dimana tidak semua amal perbuatan seseorang boleh digibah. Sementara dalam kehidupan sosial ini sering terjadi. Seseorang yang tadinya menjadi tempat curahan hati sahabatnya namun justru disebarkan kepada orang lain. Bahkan, saking keasikan gibah dibumbui dengan hal lain sehingga menjadi sebuah fitnah.

Setelah kita ketahui, menjaga gibah cukup dengan menggunakan nalar saja. Karena gibah dianggap sebagai bentuk penindasan dan kezaliman terhadap seseorang dengan membongkar rahasianya, membuka aib dan dapat merusak reputasinya. Siapapun dapat berpikir bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela.

Tanpa diragukan pada bagian ini bukan lagi membahas mengenai perbedaan antara pelaku kejahatan maupun kebajikan. Kecuali dalam beberapa kasus gibah bisa menjadi sebab untuk mencegah terhadap hal buruk yang lebih besar. Atau juga menghindari ancaman di kalangan masyarakat sosial dari bahaya dan kerugian. Maka, proporsi gibah bukan sekedar pembahasan mengenai antara orang fasik maupun yang tidak.


Gibah Menurut Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam ayat yang menjelaskan mengenai gibah termasuk penekanan terhadap aturan-aturan yang ada dalam ayat tersebut. Allah dalam firman-Nya menyebutkan “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah diantara kalian saling gibah satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian akan merasa jijik.”[9]

Dalam kandungan ayat tersebut terdapat tiga inti larangan yang memiliki sebab akibat satu sama lain yaitu prasangka buruk, mencari tahu aib dari rahasia seseorang dan perbuatan gibah. Terlihat jelas saat manusia mempunyai prasangka buruk dapat memicu dirinya untuk menyelidiki rahasia seseorang. Tentu setiap manusia memiliki aib dan kelemahan yang tersembunyi. Dengan menyelidiki aib dan rahasia seseorang dapat menyebabkan orang tersebut melakukan gibah.

Dalam hal ini terdapat kiasan mengenai seseorang yang suka gibah. Korban gibah tentu sedang tidak hadir saat digibah dimana ia seperti halnya mayat yang lemah tanpa memiliki kekuatan untuk melawan. Sementara menyerang orang lemah merupakan perbuatan dari pribadi seorang pengecut. Maka tukang gibah dapat dikategorikan sebagai orang lemah dan cacat mental, karena tidak memiliki keberanian menghadapi masalah. Oleh karena itu, ia hanya berani menyerang jasad saudaranya sendiri tanpa ada perlawanan.

Pada ayat yang lain Allah berfirman, “celakalah bagi orang yang terbiasa mencela dan menceritakan aib orang lain”.[10]

Garis besar dalam ayat tersebut terdapat ancaman bagi pencela dan tukang gibah. Para ahli tafsir mengatakan bahwa kedua perilaku mewakili kejahilan, kemurkaan dan arogansi. Sedangkan perilaku tersebut dapat mengganggu dan menganiaya orang lain. Selain itu, dalam diri setiap pelaku gibah terdapat segala jenis kebohongan dengan mengupas kejelekan orang lain demi menunjukkan keunggulan dirinya.

Allah swt berfirman, “sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan keburukan di kalangan orang-orang Mukmin akan mendapatkan siksa yang menyakitkan di dunia dengan hukum yang telah ditentukan. Sedangkan di akhirat, ia akan memperoleh siksa neraka, jika mereka tidak segera bertobat. Dan Allah sungguh Maha Mengetahui segala kondisi kalian, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sedang kalian tidak tahu apa yang diketahui oleh Allah.”[11]


Riwayat dan Hadis Gibah

Suatu hari Rasulallah Saw berkhotbah dengan suara lantang dari dalam mesjid. Hal ini dilakukan supaya sampai ke telinga para wanita dan istri hadirin yang tinggal di sekitar situ. Dalam khotbahnya Beliau mengatakan, “wahai kelompok yang beriman dengan mulutnya namun tidak dengan hatinya, janganlah kalian gibah muslimin, dan janganlah kalian mencoba untuk mencari aib-aib mereka, karena bagi setiap orang yang mencari aib-aib saudara muslimnya, Allah akan segera membuka aib-aibnya dan akan mengeluarkan aib-aib tersebut dari dalam rumahnya.”[12]

Pada kesempatan yang sama Rasulallah melanjutkan khotbahnya mengenai pentingnya mengetahui dosa riba. Beliau menjelaskan bahwa dosa satu dirham riba lebih buruk dari tiga puluh enam kali berzina. Lalu Rasul melanjutkan dengan bersabda, “dan paling buruknya riba adalah merusak reputasi saudaranya sendiri dengan cara gibah dan sebagainya.”

Interpretasi mengenai pentingnya mengetahui dosa gibah dalam proporsi zina banyak terdapat dalam beberapa riwayat. Sebagian riwayat mendefinisikan bahwa zina termasuk perbuatan yang dapat diampuni jika segera bertobat. Namun berbeda dengan pelaku gibah karena merusak reputasi dan hak orang lain. Maka Allah tidak akan memberikan ampunan kecuali orang yang digibah mengampuninya.[13]

Imam Ali as mengenai dosa seorang ahli gibah juga mengibaratkan demikian, “gibah adalah makanan anjing di neraka”. Ibarat dari Imam Ali ini memiliki interpretasi mengenai dosa orang yang ahli gibah. Sebenarnya anjing bukanlah hewan yang tinggal di neraka, namun anjing yang dimaksud adalah manusia pemakan bangkai saudaranya sendiri yang menyerupai anjing. Artinya, setiap orang yang ahli gibah akan ditempatkan di neraka.


Catatan Kaki:

[1] Makasib Muharramah Syaikh Anshori, Hal. 41
[2] Wasail As-Syiah, Jilid 8, Abwabe Ahkam Al-A’syrah, Hal. 602
[3] Mahjatul Baidho’, Jilid 5, Hal. 256
[4] Usul Kafi, Jilid 2, Hal. 239, Hadis 28
[5] Biharul Anwar, Jilid 72, Hal 235-237
[6] Ibid, Hal. 261
[7] Biharul Anwar, Jilid 72, Hal. 253
[8] Ibid, Hal. 260
[9] Surat Al-Hujarat, Ayat 12.
[10] Surat Al-Humazah, Ayat 1.
[11] Surat An-Nur, Ayat 19
[12] Jami’ Al-Sa’adat, Jilid 2, Hal. 303
[13] Wasail Al-Syiah, Jilid 8, Hal. 601, Hadist 18

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: