Hingga saat ini, kelompok Daesh atau dikenal sebagai ISIS, yang dalam propagandanya mengklaim diri sebagai pembela Islam dan kaum Muslimin, tak juga bersuara lantang atas ulah nekat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang beberapa hari lalu secara resmi dan sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Padahal di saat yang sama, Hamas dan Hizbullah terus mengobarkan semangat perlawanan.
Alih-alih mengutuk keras, media propaganda ISIS hanya memunculkan sikap kelompok itu yang isinya justru mencela kelompok pesaing dan para pemimpin Arab yang dianggap munafik.
“Bagaimana ISIS menanggapi pengumuman AS tentang pemindahan kedutaan ke Yerusalem? Marah? Nggak. Menyerukan jihad? Tidak juga,” kata peneliti independen, Raphael Gluck, di Twitter.
“ISIS justru menusuk para pesaingnya dan menuduh kelompok-kelompok Islam lain mempolitisir kepentingan Palestina sesuai dengan agenda mereka sendiri. Mengapa?,” ujar Gluck, seperti dikutip New York Times.
Reaksi ISIS yang tak bergejolak itu muncul dalam bulletin propagandanya, Naba, yang telah dianalisis SITE Intelligence Group. ”Enam puluh tahun dan Yerusalem telah berada di tangan orang-orang Yahudi, dan baru sekarang orang-orang menangis saat Tentara Salib mengumumkan hari ini sebagai Ibu Kota mereka,” bunyi sikap ISIS dalam siaran propagandanya tersebut.
”Apakah seruan ini menimbulkan masalah yang biasa mereka tangisi setiap kali disebutkan?,” lanjut sikap ISIS. ”Atau apakah ini kesempatan baru bagi para pedagang iman dan orang-orang yang curang untuk meninggikan suara mereka lagi?”
Kelompok yang dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi ini berpendapat bahwa fokus yang semestinya adalah bekerja untuk mengalahkan negara-negara Arab yang berdering dengan Israel. ”Yang seperti gelang mengelilingi pergelangan tangan, melindungi orang-orang Yahudi dari serangan para mujahidin,” lanjut sikap ISIS.
Sebaliknya, sentimen kepedulian terhadap Palestina lebih nyaring disuarakan Hizbullah, para militer Syiah Irak dan Hamas.
Seperti diketahui, kelompok para militer Irak menyatakan, keputusan Trump telah menjadi alasan sah untuk menyerang pasukan AS yang ada di wilayah Irak.
Namun, sikap lunak ISIS tersebut dapat dianggap bukan hal yang aneh. Pasalnya, selama ini sudah bukan rahasia lagi terkait banyak selentingan yang menyebut bahwa sesungguhnya gerakan radikal Al Qaeda dan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau dikenal pula sebagai Islamic State of Iraq and The Levant (ISIL) ini, merupakan “boneka” ciptaan Amerika.
Salah seorang penudingnya adalah mantan staf National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden. Menurut dia, selain Amerika, dua negara lain yang bertanggungjawab terkait ISIS adalah Inggris dan Israel.
Pernyataan Snowden, yang telah membongkar banyak “rahasia dunia” menyangkut isu politik, ekonomi, dan keamanan tingkat tinggi, sedikit banyak menggoyahkan keyakinan pihak-pihak yang selama ini “meyakini betul” bahwa ISIS adalah gerakan yang berkaitpaut erat dengan agama.
Begitu pun kegoyahan tak lantas benar-benar membuat keyakinan tersebut ambruk. Asumsinya, bisa saja Snowden berkata bohong.
Namun satu video yang dilansir Fox News menjelaskan bahwa apa yang dikemukakan Snowden memang bukan sekadar pepesan kosong.
Dalam video wawancara dengan reporter Fox News, Greta Van Susteren, Hillary Clinton menyebut bahwa Amerika memiliki kepentingan sangat besar di Asia Tengah, kawasan yang dua dekade lalu hendak “dikuasai” Uni Soviet.
“When the Soviet Union invaded Afghanistan we had this brilliant idea we were going to come to Pakistan and create a force of mujahedeen and equip them with stinger missiles and everything else to go after the Soviets inside Afghanistan.”
Rencana besar ini sukses. Uni Soviet meninggalkan Afghanistan dengan kerugian sangat besar, yang di belakang hari menjadi salah satu faktor yang membuat negeri ini bangkrut dan akhirnya runtuh.
Tapi menurut Clinton, yang tidak diperkirakan benar oleh Pemerintah Amerika Serikat yang saat itu dipimpin Presiden Ronald Reagen, adalah betapa mereka ternyata menciptakan monster-monster. Yakni pasukan terlatih dengan tingkat kefanatikan yang sangat tinggi. Tidak hanya di Afghanistan, tapi juga di Pakistan, Irak, dan Suriah.
“We were just so happy to see the Soviet Union fall and we thought fine we are oke. Now you look back. The people we are fighting today, we were supporting in the fight the soviets,” ujar Clinton. Mereka yang kita perangi hari ini adalah pihak yang kita dukung saat melawan Uni Soviet.
Selain dalam wawancara dengan Fox, Hillary Clinton yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, pernah menyampaikan pernyataan serupa di hadapan rapat pemerintah dengan senat Amerika Serikat.
Rapat tersebut, tepatnya bagian di mana Hillary menyebut soal hubungan Amerika Serikat dengan Afghanistan, Taliban, Muhajidin, ISIS, dan gerakan radikal lain, kemudian disiarkan di CNN.
Sedikit flashback, Jumat, 13 November 2015 waktu Paris, Perancis, atau Sabtu, 14 November 2015 waktu Indonesia, teror melanda kota yang dikenal sebagai simbolisme romantik ini. Tiga bom meledak di sekitar Stade de France yang tengah memanggungkan laga sepakbola internasional, dan sekelompok orang bersenjata api memberondongkan peluru ke kerumunan warga yang sedang menonton konser musik. Tembakan lain juga menghantam orang-orang yang tengah makan dan minum di restoran.
ISIS menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa yang menewaskan kurang lebih 180 orang ini. Mereka menyampaikannya lewat pesan elektronik di media sosial dan dilansir pula di sejumlah media massa. Di tempat kejadian perkara, konon, petugas Kepolisian Perancis, menemukan identitas para pelaku.
Dalam perkembangannya kemudian, pihak Pemerintah Perancis menyerukan perang terhadap ISIS. Perancis telah melancarkan serangan udara penuh di lokasi-lokasi yang diyakini merupakan markas ISIS. Begitupun aksi-aksi teror serupa yang terjadi di tempat dan negara lain. Teror dibalas teror. Sementara penciptanya, Amerika Serikat, cuma bisa bilang prihatin.
Lalu bagaimana dunia bisa terlampau berharap, ISIS selaku wayang, bakal mampu balik menentang dan mengutuk keras sang dalang?
(New-York-Times/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar