Perlunya Diutus Para Nabi
Pemasalahan ini merupakan permasalahan yang paling penting dalam prinsip Kenabian. Ianya dapat dibuktikan dengan hujah berikut:
Pertama, tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan ikhtiari demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah swt. agar –dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah– berhak memperolehi rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, kerana kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari (disengaja), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, iaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasir). Tujuan adanya dua jalan ini supaya manusia boleh memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahawa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’). Hal ini telah kami jelaskan pada perbahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi.
Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping memerlukan kemampuan dan tersedianya faktor-faktor luaran serta adanya kecondongan dan motivasi dalaman untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga memerlukan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang boleh memilih kesempurnaannya dengan penuh kesedaran dan kebebasan bila mana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala halangan yang akan mengujinya.
Dengan demikian, Kebijaksanan (hikmah) Ilahi menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperolehi pengetahuan tentang hal-hal di atas. Kerana jika tidak demikian, maka tidak ubahlah Allah seperti orang yang mengundang teman untuk datang ke rumahnya, akan tetapi dia tidak mhau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuhi. Jelas bahawa perbuatan seperti ini tidak sesuai dan bertentangan dengan sifat Maha Bijaksana Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Hal kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.
Ketiga, pengetahuan manusia biasa -yang pada umumnya diperolehi melalui kerjasama panca indera dan akal- meskipun mempunyai peranan begitu efektif dalam memenuhi sebahagian keperluan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang, baik yang bersifat individu mahu pun kelompok, material mahu pun maknawi, duniawi maupun ukhrawi. Oleh itu, jika tidak ada jalan lain untuk menutup pelbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah menciptakan manusia ini menjadi sia-sia.
Berdasarkan tiga hal di atas, dapat disimpulkan bahawa Hikmah Ilahiyah itu melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indera dan akal, bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di pelbagai bidang, sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung mahu pun melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan kepada para nabi agar mereka dapat memanfaatkan wahyu tersebut secara langsung, sedangkan selain mereka dapat menggunakan dan memanfaatkan wahyu tersebut dengan perantara para nabi tersebut, hingga mereka dapat mempelajari segala apa yang mereka perlukan daripada wahyu tersebut demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi.
Di antara 3 hal tersebut, barangkali masih terdapat keraguan terutama terhadap hal yang terakhir. Oleh itu, kami melihat perlu untuk menjelaskannya dengan lebih luas lagi hingga kita boleh menyedari kadar pengetahuan manusia dalam menentukan jalan kesempurnaannya dan ketergantungan manusia kepada wahyu.
Kadar Pengetahuan Manusia
Untuk mengetahui jalan kehidupan yang benar pada semua aspeknya, seseorang harus mengetahui asal usul keberadaannya dan akhir perjalanan hidupnya, hubungannya yang boleh dijalin dengan makhluk sejenisnya dan dengan semua makhluk, serta pengaruh pelbagai hubungan terhadap kebahagiaan dan kesengsaraannya. Di samping itu, dia pun harus mengetahui kadar manfaat dan bahaya, tingkat pelbagai maslahat dan mudarat, serta menimbangkan semua itu agar ia dapat menentukan tugas manusia yang mempunyai bentuk fizikal dan jiwa yang berbeda-beda. Mereka semua hidup di dalam keadaan alam dan sosial yang berbeda-beda.
Akan tetapi, mengetahui semua persoalan ini bukan hanya sulit bagi individu atau kelompok, bahkan ribuan ahli dan kelompok spesialis daripada pelbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia pun menemui kesulitan dalam menyingkap tolok ukur dan formula rumit ini. Mereka juga sulit untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang cermat, tepat dan tegas agar semua maslahat -baik yang bersifat individu mah upun kelompok, materi mahu pun maknawi, duniawi atau pun ukhrawi- dapat terpenuhi bagi semua umat manusia. Tatkala terjadi perlawanan dan per-tentangan antara pelbagai maslahat dan mafsadah, dan hal ini justru seringkali terjadi, dia dapat menentukan mana yang memang lebih bermaslahat, sehingga pada tahap praktikal dia dapat mendahulukannya di atas yang lain.
Kalau kita perhatikan dengan saksama pelbagai perubahan sistem hukum sepanjang sejarah umat manusia, nyatanya sampai hari ini –meskipun pelbagai pembahasan dan segala tenaga telah dikerahkan oleh para ahli hukum selama ribuah tahun– belum kita dapati adanya satu sistem hukum yang benar, sempurna dan komprehensif. Kita perhatikan pula para perancang undang-undang dan lembaga-lembaga hukum di pelbagai belahan dunia sentiasa mengakui kekurangan produk hukum yang mereka buat. Maka itu, mereka selalu berusaha untuk membuat kajian atau menyempurnakannya, dengan cara menghapuskan pasalnya, atau menambahkannya, atau memberikan catatan di sisinya.
Hendaklah kita pun tidak lalai bahawa mereka banyak memanfaatkan syariat samawi dan sistem hukum agama dalam menyusun undang-undang tersebut. Juga kita ketahui bahawa kesungguhan para pembuat undang-undang itu lebih banyak dicurahkan untuk kepentingan yang sifatnya duniawi dan sosial. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ukhrawi dan sejauh mana hubungan maslahat ukhrawi tersebut dengan masalah-masalah duniawi.
Apabila mereka juga menganggap penting sisi ukhrawi dalam masalah ini, mereka tidak akan mampu menemukan kesimpulan yang meyakinkan. Kerana, maslahat-maslahat yang bersifat materi dan duniawi –pada batas-batas tertentu– meski boleh dicapai dengan jalan eksperimen dan pengalaman praktikal, namun maslahat-maslahat maknawi dan ukhrawi tidak boleh dipastikan melalui eksprimen panca indera, dan tidak mungkin dapat diketahui secara detail. Maka itu, ketika terjadi perlawanan antara maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi, mereka tidak dapat mengetahui mana yang lebih penting.
Dengan memerhatikan ehwal perundangan buatan manusia pada zaman sekarang ini, kita dapat menilai kehandalan ilmu pengetahuan manusia di sepanjang ribuan atau ratusan ribu tahun. Darinya kita menjumpai satu kesimpulan yang meyakinkan bahawa manusia pada abad-abad dahulu lebih lemah dibandingkan dengan manusia pada zaman sekarang ini dalam mengetahui dan menentukan tatacara hidup yang benar.
Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu merumuskan sebuah sistem perundang yang sempurna dan komprehensif melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka akan membiarkan manusia zaman dahulu tetap dalam kebodohan?
Kesimpulannya, tujuan penciptaan manusia, sejak awal hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain indera dan akal untuk mengetahui hakikat kehidupan ini dan tugas-tugas yang sifatnya individu mahu pun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah wahyu Ilahi.
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula bahawa sesuai dengan hujah ini, manusia pertama itu adalah seorang nabi hingga dia dapat mengenal jalan hidup yang benar melalui wahyu Allah agar dapat merealisasikan tujuan penciptaan Ilahi dalam dirinya. Setelah itu, umat manusia yang lainnya dapat menemukan jalan petunjuk melaluinya.
Manfaat Diutusnya Nabi
Di samping tugas untuk menunjukkan jalan hidup, menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia, para Nabi juga mempunyai tugas-tugas penting lainnya demi kesempurnaan umat manusia, di antaranya:
1. Banyak pengetahuan yang boleh dijangkau oleh akal manusia. Namun, kerana hal itu memerlukan waktu dan pengalaman yang panjang, atau kerana perhatiannya dicurahkan pada urusan-urusan materi dan pemuasan hawa-nafsu, dia melupakan pengetahuan tersebut. Atau, kerana pengajaran yang keliru dan propaganda yang menyesatkan, pengetahuan ini tersembunyi. Dengan perantaraan para nabilah pengetahuan itu diajarkan kepada umat manusia. Mereka selalu mengingatkan manusia supaya tidak melupakannya, dan mencegah terjadinya penyimpangan dengan cara pengajaran yang benar dan logik. Maka dari itulah dapat kita ketahui sebab penamaan para nabi dengan dua istilah; Al-Mudzakkir dan An-Nadzir, dan penamaan Al-Quran dengan nama-nama Az-Zikr, Az-Zikra dan At-Tazkirah.
Dalam rangka memaparkan manfaat dan hikmah-hikmah diutusnya para nabi, Imam Ali as. mengatakan:
”Sesungguhnya para nabi itu diutus supaya mereka dapat mengembalikan umat manusia kepada ikrar fitrahnya, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah dilupakannya, serta supaya mereka menyempurnakan hujah mereka atas manusia melalui tabligh”.
2. Salah satu faktor terpenting dalam pendidikan dan penyempurnaan manusia ialah adanya qudwah (suri-teladan) dalam berbuatan, sebagaimana yang telah terbukti dalam Psikologi. Para nabi adalah manusia-manusia sempurna yang mendapatkan didikan dan perhatian Ilahi. Mereka tampil sebagai sebaik-baiknya teladan manusia. Di samping mengajarkan pelbagai ilmu pengetahuan, mereka pun mempunyai peranan penting dalam mendidik dan membersihkan hati umat. Kita telah mengetahui bahawa Al-Quran telah mensejajarkan ta’lim (pengajaran) dan tazkiah (pembersihan jiwa). Bahkan dalam sebahagian ayat, kata tazkiyah disebutkan terlebih dahulu daripada kata ta`lim.
3. Salah satu berkah keberadaan para nabi di tengah umat manusia iaitu di saat keadaan memungkinkan, mereka akan memegang dan mengendalikan kepemimpinan sosial-politik umat manusia. Jelas bahawa pemimpin yang maksum adalah satu nikmat Ilahi terbesar bagi umat manusia, dimana mereka akan dapat mengatasi pelbagai jenis persoalan sosial, serta menyelamatkan umat manusia daripada pelbagai kemelut dan penyelewengan. Dengan begitu, para nabi dapat menuntun umat manusia menuju kesempurnaan yang sesungguhnya.[]
(Islam-Muhammadi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar